Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana melakukan penyederhanaan nilai rupiah atau redenominasi. Rencana ini masuk ke dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi) ini ditetapkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah Tahun 2020-2024.
Baca Juga: Redenominasi rupiah perlu disosialisasikan terus menerus agar tak salah kaprah
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Andin Hadiyanto mengatakan, meskipun RUU ini termasuk ke dalam Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024, tetapi RUU Redenominasi tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020.
"Sehingga pada tahun 2020, RUU Redenominasi belum menjadi agenda pembahasan," ujar Andin kepada Kontan.co.id, Rabu (8/7).
Andin menjelaskan, pihaknya telah mempersiapkan tim perumus yang tergabung ke dalam Tim Persiapan Redenominasi Mata Uang (TPRMU).
Tim perumus yang mencakup Kemenkeu, Bank Indonesia (BI), dan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait ini, telah menyusun kajian, naskah akademik, serta RUU redenominasi yang telah disiapkan sejak tahun 2010 silam.
Baca Juga: Kemenkeu berencana redenominasi mata uang rupiah
Namun demikian, kata Andin, pembahasan kajian dan pembahasan RUU Redenominasi akan tetap memperhatikan prioritas dan dinamika kebijakan dan politik.
Tak hanya itu, pembahasan RUU ini juga akan mempertimbangkan kesiapan sosial, politik, dan ekonomi.
Untuk itu, Andin belum bisa memastikan kapan pembahasan RUU ini akan dimulai. Namun, apabila mengutip dari PMK 77/2020 RUU ini ditargetkan dapat selesai pada rentang tahun 2021-2024. "Kita lihat situasinya, tapi (pembahasannya) tidak tahun ini," kata Andin.
Sebagai informasi, apabila mengutip dari PMK tersebut, ada dua urgensi dari pembentukan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi) ini.
Baca Juga: Reliance giat mengedukasi pasar modal ke generasi millenial
Pertama, menimbulkan efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit Rupiah.
Kedua, adalah karena pemeirntah ingin menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena tidak banyaknya jumlah digit Rupiah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News