Reporter: Venny Suryanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) telah menyepakati skema teknis pembagian beban atau burden sharing atas biaya penanganan dampak pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjelaskan langkah dalam melakukan burden sharing bersama BI ini dilakukan dengan memperhatikan kredibilitas dan integritas dari pengelolaan fiskal maupun moneter dengan tiga kategori yakni kategori Public Goods (Kesehatan, Perlindungan Sosial, Sektoral, K/L, Pemda) yang sebesar Rp 397 triliun ditanggung seluruhnya alias 100% oleh BI lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN)
Baca Juga: Menkeu dan DPR sepakat, transparansi burden sharing jadi kunci kepercayaan investor
Kemudian kategori Non-Public Goods (UMKM) senilai Rp 123,46 triliun, BI dan Menkeu sepakat bahwa BI akan menanggung sampai dengan di bawah 1% Reverse Repo Rate.
Serta ketegori Non Public Goods (Lainnya) kesepakatannya adalah akan ditanggung 100% oleh Pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom IKS, Eric Sugandi menilai opsi yang dipilih oleh BI adalah dengan mempertimbangkan keadaan darurat untuk menyelamatkan kondisi APBN dan perekonomian.
Namun memang ada muncul persepsi ke pelaku pasar terhadap independensi BI dalam menjalankan kebijakan moneter.
Eric bilang, tak hanya di Indonesia saja yang melakukan aksi burden sharing untuk penanganan Covid-19. Banyak negara yang bank sentralnya juga ikut turun tangan membeli obligasi pemerintah via program quantitative easing.
“Ini wajar dalam kondisi resesi, karena kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif dibutuhkan untuk dorong pertumbuhan ekonomi,” Kata Eric saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (6/7).
Baca Juga: Perry Warjiyo: Burden sharing tak akan terlalu bebani neraca keuangan BI
Untuk itu, Eric juga melihat dampak positif dari skema tersebut dinilai dapat membantu pemerintah utntuk memenuhi target pembiayaan anggaran. Selain itu, injeksi uang ke perekonomian pembelian SBN oleh BI diharapkan juga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan jika dilihat dari dampak negatifnya, Eric menilai, para investor tentu akan melihat berkurangnya independensi BI dalam pembuatan kebijakan moneter karena telah mengakomodasi keinginan pemerintah yang terus menaikkan budget defisit dan target penerbitan SBN.
“Kalau dilihat dampak inflasionernya juga ada, tapi saya pikir relatif kecil dan bisa dikendalikan BI. Jika tekanan inflasi karena kebijakan ini meningkat, BI bisa menjual kembali SBN yang dipegangnya di pasar sekunder (jika BI jual SBN, berarti BI menarik uang dari market),” Tandasnya.
Untuk itu, Pemerintah harus menjaga betul jangan sampai budget deficit terus membengkak ketika penggunaan budget yang ada belum optimal.
Adapun besaran angka yang sudah disepakati tersebut perlu dipenuhi oleh BI. Alias jangan dinaikkan lagi.
“Jangan sampai BI terlihat berkurang independensinya karena berusaha mengakomodasikan keinginan pemerintah,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News