kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.496.000   5.000   0,34%
  • USD/IDR 15.500   15,00   0,10%
  • IDX 7.735   86,10   1,13%
  • KOMPAS100 1.202   10,90   0,91%
  • LQ45 959   9,37   0,99%
  • ISSI 233   1,70   0,73%
  • IDX30 492   5,97   1,23%
  • IDXHIDIV20 591   7,28   1,25%
  • IDX80 137   1,31   0,97%
  • IDXV30 143   0,56   0,39%
  • IDXQ30 164   1,93   1,19%

Kabinet Gemuk, Anggaran Gaji Menteri Bisa Membengkak


Kamis, 17 Oktober 2024 / 14:55 WIB
Kabinet Gemuk, Anggaran Gaji Menteri Bisa Membengkak
ILUSTRASI. Presiden Terpilih Prabowo Subianto (kiri) menyampaikan keterangan pers usai melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh di kediamannya di Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024). Prabowo akan kembali melanjutkan memanggil sejumlah tokoh yang akan menjadi calon menteri dan calon wakil menteri/kepala lembaga negara untuk pemerintahan baru ke depan pada Selasa (15/10). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/Spt.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Hasil Analisa Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan adanya potensi pembengkakan anggaran hingga Rp 1,95 triliun selama lima tahun ke depan, akibat koalisi gemuk pada pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Kabinet Prabowo-Gibran dikabarkan akan menggandeng 49 menteri dengan 59 wakil Menteri. Ini lebih banyak dari era Presiden Jokowi yang hanya 34 menteri dengan wakil Menteri sebanyak 17 orang.

Achmad Hanif Imaduddin, Peneliti Celios menyampaikan, pembengkakan anggaran tersebut belum termasuk beban belanja barang yang timbul akibat pembangunan fasilitas kantor/gedung lembaga baru.

Baca Juga: Hashim Benarkan Maruarar Sirait Jadi Menteri Perumahan Era Prabowo

Celios menghitung pada era kepemimpinan Presiden Jokowi-Ma’aruf Amin, estimasi biaya untuk gaji dan tunjangan menteri dan wakil Menteri, serta anggaran operasionalnya diperkirakan mencapai Rp 387,6 miliar per tahun.

Nah, setelah dihitung dengan koalisi gemuk di era Prabowo-Gibran angkanya bertambah menjadi Rp 777 miliar. Artinya ada estimasi peningkatan sebesar Rp 389,4 miliar per tahun, atau mencapai Rp 1,95 triliun dalam lima tahun.

Hanif juga menyampaikan bahwa kerugian yang dihadapi negara akibat fenomena ini tidak hanya sebatas pada pemborosan fiskal tetapi juga memperlebar angka ketimpangan.

“Meskipun gaji menteri relatif kecil dibandingkan jabatan lain, posisi ini dapat membawa  dampak ekonomi yang luas, seperti kenaikan nilai saham perusahaan yang dimiliki oleh menteri yang dapat dilihat sebagai manfaat dari akses kekuasaan,” tutur Hanif dalam keterangan tertulisnya, Kamis (17/10).

Baca Juga: Rencana Prabowo: Insentif Pajak Properti & Bangun 3 Juta Rumah, Ini Dampaknya ke BBTN

Hanif menilai fenomena ini dapat menciptakan ketimpangan baru di masyarakat karena pejabat-pejabat tersebut mendapatkan keuntungan ganda dari posisi kekuasaannya.

Adapun Prabowo sebelumnya berargumen bahwa sebagai negara besar, Indonesia memerlukan banyak menteri untuk mengelola pemerintahan secara efektif. Akan tetapi, Hanif berpendapat argumen tersebut perlu dipertimbangkan dengan melihat komparasi konteks internasional.

Misalnya saja Amerika Serikat (AS), dengan populasi sekitar 346 juta orang, hanya memiliki 15 eksekutif departemen setingkat kementerian. Bahkan China sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia yang mencapai lebih dari 1,4 miliar, hanya memiliki 21 kementerian.

Sementara itu, Indonesia dengan populasi sekitar 275 juta memiliki 46 kementerian, jauh lebih banyak dibandingkan negara-negara tersebut.

“Fakta ini menunjukkan bahwa banyaknya jumlah menteri bukanlah cara untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Sebaliknya, justru berpotensi memperbesar birokrasi dan meningkatkan pemborosan anggaran negara,” ungkapnya.

Director of Fiscal Justice Celios Media Wahyudi Askar mengatakan, saat ini proses rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tengah berlangsung, dengan tahapan seleksi yang ketat dan memakan waktu panjang untuk memastikan bahwa hanya individu dengan kompetensi terbaik yang diterima.

Baca Juga: Potret APBN Prabowo, Terhimpit Utang dan Janji Politik

“Ironisnya, jabatan-jabatan strategis di tingkat pemerintahan, termasuk menteri dan wakil menteri, justru tampaknya tidak mengikuti prinsip meritokrasi,” tutur Media.

Alih-alih memilih berdasarkan keahlian dan rekam jejak profesional, Media melihat jabatan tersebut kini cenderung dibagi-bagikan berdasarkan kepentingan politik, termasuk posisi wakil menteri yang dulu sering diisi oleh profesional kini diberikan kepada kader partai politik.

Dalam upaya meminimalisasi pemborosan anggaran dan pengingkaran meritokrasi dalam penunjukan pejabat strategis, Media melihat tidak ada jalan lain selain memperkuat mekanisme pengawasan anggaran dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya publik.

Penguatan fungsi lembaga lembaga bisa dilakukan seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang menjadi penjaga terakhir untuk memastikan akuntabilitas.

Baca Juga: Tahan Tangis, Basuki Resmi Pamit Setelah 45 Tahun Mengabdi di Kementerian PUPR

“BPK juga perlu diberikan wewenang lebih untuk mengaudit penggunaan anggaran kementerian dan lembaga, termasuk menindaklanjuti proses legal penegakan,” ungkapnya.

Selain itu, Media juga menyebut KPK dan MA berperan penting dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap para pelanggar kebijakan anggaran dan pejabat yang menyalahgunakan wewenang.

Sinergi kuat antar lembaga ini akan menjadi kunci dalam menciptakan pemerintahan yang bersih, efisien, dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Apabila lembaga-lembaga ini juga lemah, negara bisa kehilangan arah,” tambahnya.

Selanjutnya: Mulai Bulan Ini Dana Pensiun Tak Lagi Bisa Dicairkan Sebelum 10 Tahun

Menarik Dibaca: Simak Waktu yang Tepat Harus Ganti HP Baru Beserta Tanda-tandanya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Penerapan Etika Dalam Penagihan Kredit Macet Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK

[X]
×