Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia menghadapi beban pembayaran utang terbesar sepanjang tahun 2025 pada bulan Juni 2025, dengan total jatuh tempo mencapai Rp 178,9 triliun.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyatakan bahwa sebagian besar beban tersebut berasal dari obligasi pemerintah berdenominasi rupiah, termasuk seri besar seperti FR0081 yang akan jatuh tempo pada 15 Juni dengan nilai outstanding mencapai Rp 142,2 triliun.
Meski nilainya besar, Josua menilai pemerintah telah merencanakan pembiayaan tahun 2025 dengan strategi yang mengantisipasi kebutuhan utang jatuh tempo tersebut.
"Kebutuhan pembiayaan termasuk untuk pelunasan utang akan dipenuhi melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) domestik dan valas, pinjaman luar negeri, dan sumber pembiayaan lainnya," ujar Josua kepada Kontan.co.id, Jumat (4/6).
Baca Juga: Utang Jatuh Tempo Membeludak di Juni 2025, Pemerintah Harus Bayar Rp 178 Triliun
Hingga 20 Mei 2025, realisasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) telah mencapai Rp 545,3 triliun, terdiri dari Rp 374,4 triliun dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan Rp 170,9 triliun dalam bentuk Sukuk Negara (SBSN).
"(Penerbitan SBN) ini menunjukkan progres signifikan dan kapasitas pasar yang masih kuat dalam menyerap emisi surat utang," katanya.
Josua menambahkan, cadangan devisa Indonesia per April 2025 yang berada di atas US$ 140 miliar juga menjadi bantalan penting bagi stabilitas eksternal. Posisi ini cukup untuk membiayai lebih dari enam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri, sekaligus mencerminkan soliditas ruang fiskal.
Hal ini diperkuat oleh sentimen positif investor atas manajemen fiskal Indonesia yang prudent, sebagaimana tercermin dalam status investment grade dari semua lembaga pemeringkat utama.
Josua menambahkan, pemerintah juga mengandalkan kombinasi sumber pembiayaan untuk pelunasan utang bulan ini, mulai dari penerbitan obligasi baru, penggunaan kas dan saldo anggaran lebih (SAL), hingga pinjaman luar negeri, meskipun porsi pinjaman relatif lebih kecil.
Baca Juga: Pemerintah Cari Utang Baru ke China dan Australia via Global Bond, Ini Kata Wamenkeu
Namun demikian, menurutnya tekanan terhadap nilai tukar rupiah bisa terjadi dalam jangka pendek jika kebutuhan pelunasan utang memicu repatriasi dana oleh investor asing, terutama bila terjadi bersamaan dengan tekanan global seperti penguatan dolar AS atau volatilitas pasar keuangan.
Namun, risiko ini dapat diredam oleh beberapa faktor, mulai dari strategi penerbitan SBN yang terdiversifikasi dan dilakukan secara bertahap, adanya koordinasi kuat antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, termasuk penggunaan SRBI sebagai instrumen stabilisasi valas, serta posisi fiskal yang masih kredibel, dengan defisit dipertahankan di level moderat (2,53% dari PDB).
Dengan demikian, Josua menyebut, walaupun Juni 2025 merupakan bulan dengan beban pembayaran utang tertinggi, pemerintah tampak cukup siap secara likuiditas dan strategi pembiayaan.
"Tekanan terhadap rupiah mungkin muncul, namun secara keseluruhan masih dapat dikendalikan dengan bauran kebijakan yang responsif dan sinyal kuat dari sisi fiskal dan moneter," pungkasnya.
Baca Juga: Pemerintah Hadapi Beban Berat, Utang Jatuh Tempo Juni 2025 Tertinggi Sepanjang Tahun
Selanjutnya: Dana Kelolaan Kustodian BNI Tembus Rp 300 Triliun di Bulan April 2025
Menarik Dibaca: Ini 7 Perbedaan Tabungan dan Deposito yang Harus Anda Pahami di Tahun 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News