kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.929.000   -9.000   -0,46%
  • USD/IDR 16.280   -8,00   -0,05%
  • IDX 7.113   44,39   0,63%
  • KOMPAS100 1.038   7,95   0,77%
  • LQ45 802   5,08   0,64%
  • ISSI 229   1,99   0,87%
  • IDX30 417   1,49   0,36%
  • IDXHIDIV20 489   1,52   0,31%
  • IDX80 117   0,66   0,57%
  • IDXV30 119   -0,75   -0,63%
  • IDXQ30 135   0,08   0,06%

Pemerintah Hadapi Beban Berat, Utang Jatuh Tempo Juni 2025 Tertinggi Sepanjang Tahun


Rabu, 04 Juni 2025 / 17:41 WIB
Pemerintah Hadapi Beban Berat, Utang Jatuh Tempo Juni 2025 Tertinggi Sepanjang Tahun
ILUSTRASI. Tumpukan uang dolar AS berada di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Jakarta, Rabu (16/11/2022). Bank IndonesiaÊ(BI) mencatat, utang luar negeri (ULN) Indonesia sebesar 394,6 miliar dolar AS pada Kuartal III 2022, turun dibandingkan posisi pada kuartal sebelumnya yang sebesar 403,0 miliar dolar AS, dimana erkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) maupun sektor swasta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beban utang pemerintah dari Surat Berharga Negara (SBN) yang jatuh tempo mencapai puncaknya pada Juni 2025. 

Berdasarkan data yang diterima KONTAN, nilai SBN yang jatuh tempo pada bulan tersebut tercatat sebesar Rp178,9 triliun, menjadi yang tertinggi sepanjang tahun berjalan.

Angka ini melonjak signifikan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya, seperti Mei 2025 yang hanya mencapai Rp 42,4 triliun, maupun Juli 2025 sebesar Rp34,7 triliun. 

Lonjakan ini menandakan adanya kewajiban pembayaran utang yang besar oleh pemerintah di pertengahan tahun.

Baca Juga: Utang Jatuh Tempo Membeludak di Juni 2025, Pemerintah Harus Bayar Rp 178 Triliun

KONTAN sudah mencoba menghubungi Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Suminto, terkait hal tersebut.

Namun hingga berita ini tayang, ia masih belum memberikan penjelasan termasuk terkait persiapan pemerintah dan sumber dana dalam membayar utang jatuh tempo tersebut.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M. Rizal Taufikurahman, menyoroti beban utang pemerintah yang jatuh tempo sebesar Rp 178,9 triliun pada Juni 2025 sebagai refleksi dari masalah struktural dalam pengelolaan utang negara, bukan sekadar dinamika musiman.

Meski pemerintah dinilai masih memiliki ruang manuver melalui skema refinancing dan penarikan Saldo Anggaran Lebih (SAL), Rizal memperingatkan bahwa tingginya ketergantungan terhadap pembiayaan ulang menimbulkan risiko rollover yang makin besar, terutama dalam konteks tren suku bunga global yang belum kembali ke fase longgar.

Baca Juga: Puasa Sunnah Jelang Idul Adha 2025, Ini Jadwal dan Niat Puasanya

Ia mencontohkan, dalan tiga hingga lima tahun terakhir, porsi utang jatuh tempo yang dibiayai dengan penerbitan SBN baru berkisara 80% hingga 85%.

"Ini artinya tekanan refinancing bersifat laten dan terus berulang. Ini menjadi cerminan bahwa struktur utang masih terlalu bertumpu pada pembiayaan jangka pendek, yang rawan terhadap volatilitas pasar keuangan," ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Rabu (4/6).

Rizal juga menyoroti ketimpangan antara kebutuhan pembiayaan dan performa fiskal. Menurutnya, tiga sumber utama pembiayaan, yakni lelang SBN, pinjaman bilateral/multilateral, dan khususnya penggunaan SAL menghadapi tantangan serius. 

Menurutnya, Saldo SAL terkini menunjukkan tren pelemahan seiring meningkatnya kebutuhan belanja dalam negeri. Sementara dari sisi penerimaan negara, khususnya pajak masih belum menunjukkan performa yang optimal pada Semester I-2025.

"Artinya, ruang kas untuk shock absorber sangat terbatas, dan ketergantungan terhadap pasar keuangan domestik dan eksternal semakin tinggi," katanya.

Baca Juga: Perkembangan Teknologi AI Dinilai Jadi Katalis Positif untuk Saham GOTO

Ketergantungan terhadap pasar keuangan, baik domestik maupun eksternal, dinilai bisa menjadi pemicu kenaikan imbal hasil (yield) SBN dalam waktu dekat, terutama jika terjadi mismatch antara suplai surat utang dan minat investor.

Dampaknya tidak berhenti di sisi fiskal. Rizal juga memperingatkan potensi tekanan terhadap nilai tukar rupiah. 

Meskipun porsi kepemilikan asing di SBN menurun dibandingkan periode pra-pandemi, komposisi tersebut tetap sensitif terhadap perubahan sentimen global. 

Risiko repatriasi dana oleh investor non-residen, apabila terjadi tekanan terhadap SBN, akan langsung tercermin pada naiknya permintaan valas. Apalagi jika real yield Indonesia dianggap tidak cukup kompetitif dibandingkan negara emerging market lain yang mulai menaikkan suku bunga lebih agresif. 

Baca Juga: Efisiensi Belanja Pemerintah Tekan Emiten Hotel, Menteng Heritage Fokus Jaga Okupansi

Dalam situasi seperti ini, transmisi tekanan fiskal ke sektor moneter bisa terjadi, yang pada gilirannya mengganggu stabilitas nilai tukar dan mempersempit ruang kebijakan Bank Indonesia. 

Oleh karena itu, Rizal mendorong adanya rekalibrasi strategi utang jangka menengah dan panjang, agar Indonesia tidak terus-menerus terjebak dalam siklus refinancing yang rentan terhadap gejolak eksternal.

Selanjutnya: Percepat Transformasi Teknologi dan Pengembangan SDM di industri Pengolahan Sawit

Menarik Dibaca: Cara Sehat Mengonsumsi Daging Kurban Menurut Ahli Nutrisi, Jangan Digoreng!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×