kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.016.000   36.000   1,82%
  • USD/IDR 16.860   -50,00   -0,30%
  • IDX 6.538   92,30   1,43%
  • KOMPAS100 939   12,04   1,30%
  • LQ45 730   8,52   1,18%
  • ISSI 209   2,52   1,22%
  • IDX30 378   3,03   0,81%
  • IDXHIDIV20 458   4,62   1,02%
  • IDX80 106   1,33   1,26%
  • IDXV30 113   1,41   1,27%
  • IDXQ30 124   0,78   0,63%

Awas! Beban Utang Indonesia Berpotensi Meningkat di Tengah Memanasnya Perang Tarif


Selasa, 22 April 2025 / 16:01 WIB
Awas! Beban Utang Indonesia Berpotensi Meningkat di Tengah Memanasnya Perang Tarif
ILUSTRASI. Memanasnya tensi perang dagang global yang mulai menjurus ke arah perang tarif, Indonesia diingatkan untuk waspada terhadap lonjakan beban utang.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Di tengah memanasnya tensi perang dagang global yang mulai menjurus ke arah perang tarif, Indonesia diingatkan untuk waspada terhadap lonjakan beban utang.

Sebelumnya, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 48 negara yang tengah bergantung pada dukungan neraca pembayaran IMF, termasuk Argentina yang menjadi pasien terbesar dengan program terbaru dan terbesar dari lembaga tersebut.

Pernyataan ini datang di tengah meningkatnya tekanan terhadap negara-negara berkembang akibat gejolak nilai tukar, utang luar negeri yang menumpuk, dan investasi asing yang lesu.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman memperingatkan bahwa meskipun Indonesia belum termasuk dalam daftar negara yang harus meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF), bukan berarti Indonesia sepenuhnya aman dari dampak ketegangan ekonomi global yang kian memanas, khususnya dalam konteks perang dagang.

Menurutnya, struktur ekonomi Indonesia yang masih bergantung pada ekspor komoditas, arus modal asing, serta pembiayaan utang luar negeri membuat perekonomian nasional rentan terhadap guncangan eksternal. 

Baca Juga: DCI Indonesia (DCII) Siapkan Capex Hingga Rp 1 Triliun di 2025

“Pemerintah harus menyadari bahwa stabilitas makro bukan sekadar soal angka pertumbuhan atau rasio utang, tapi juga soal kemampuan ekonomi menyerap tekanan global tanpa harus kembali pada intervensi lembaga seperti IMF," ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Selasa (22/4).

Lebih lanjut, Rizal menyoroti potensi memburuknya beban utang Indonesia di tengah situasi global yang tidak menentu. 

Menguatnya dolar AS dan meningkatnya arus modal keluar disebutnya sebagai kombinasi yang berbahaya, karena dapat meningkatkan beban utang valas yang pada akhirnya menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta menurunkan kepercayaan pasar.

"Dalam konteks ini, pendekatan pemerintah yang selama ini mengandalkan stabilitas jangka pendek bisa berbahaya jika tidak dibarengi dengan restrukturisasi sumber pembiayaan dan penguatan basis penerimaan negara," katanya.

Rizal mengingatkan bahwa risiko membengkaknya utang bukan hanya soal nominal, tetapi soal daya tahan ekonomi terhadap tekanan mendalam yang bersifat simultan.

Di sisi lain, Rizal juga mengingatkan bahwa pemerintah perlu mewaspadai ketergantungan terhadap kebijakan reaktif yang hanya merespons gejolak sesaat, tanpa menyentuh persoalan struktural yang lebih mendalam. 

Menurutnya, lemahnya industri manufaktur, rendahnya nilai tambah ekspor, serta basis pajak yang sempit masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.

Dalam konteks perang dagang dan ketidakpastian global, Indonesia harus berhenti hanya menjadi penonton yang defensif dan mulai mengambil posisi sebagai pemain yang menyiapkan diri menghadapi dunia yang makin tidak pasti secara sistemik.

Sementara itu, Head of Macroeconomic and Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman menilai, posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia hingga Februari 2025 masih dalam kondisi stabil dan aman, berada di kisaran 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Apalagi, lebih dari 80% dari total ULN memiliki tenor jangka panjang, yang menunjukkan struktur utang yang relatif sehat.

Namun demikian, Faisal mengingatkan bahwa pelemahan nilai tukar Rupiah berpotensi menambah beban pembayaran ULN, baik dalam bentuk pinjaman maupun obligasi global, terutama dari debt service.

Selain itu, dengan naiknya ketidakpastian akibat perang dagang, maka yield atau return yg ditawarkan juga sulit untuk turun.

"Meski aman, jika kondisi global terus memburuk maka akan ada kenaikan beban (utang)," kata Faisal.

Ia juga menyoroti pentingnya peningkatan iklim investasi untuk menarik capital inflow sebagai salah satu langkah mitigasi terhadap tekanan eksternal. Menurutnya, menjaga resiliensi pertumbuhan ekonomi domestik menjadi kunci daya tarik di tengah ketidakpastian sektor eksternal.

Faisal mengingatkan bahwa meskipun Indonesia masih mencatatkan surplus neraca perdagangan, risiko pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) tetap perlu diwaspadai.

Pasalnya, perang dagang yang terjadi dapat memperlebar CAD, yang pada akhirnya bisa memberi tekanan tambahan terhadap Rupiah, terutama di tengah sentimen risk-off di pasar keuangan global.

Sebagai langkah antisipatif, ia mendorong diversifikasi ekspor, baik dari sisi produk maupun tujuan negara, untuk meminimalisir dampak negatif dari ketidakpastian global terhadap ekonomi nasional.

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terancam Tertekan Akibat Kebijakan Tarif Impor AS

Selanjutnya: Lapakreload.id: Top Up Game Paling Murah di Indonesia

Menarik Dibaca: Indodana Perluas Portofolio pada Pembiayaan Motor Listrik Ramah Lingkungan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×