Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID–JAKARTA. Rencana penutupan Selat Hormuz oleh Parlemen Iran pasca serangan Amerika Serikat (AS) yang merusak tiga fasilitas nuklir Iran, dinilai bukan keputusan spontan.
Keputusan ini dinilai sebagai bagian dari langkah strategis yang akan diambil Iran apabila terjadi eskalasi konflik militer antara dengan AS dan Israel.
Ekonom senior dan Guru Besar IPB, Didin S Damanhuri menilai, keputusan tersebut bersifat integral dalam agenda parlemen Iran dan akan menjadi opsi jika Israel kembali melakukan genosida terhadap warga Gaza.
Ia bilang, penutupan Selat Hormuz bukan sesuatu yang otomatis dilakukan Iran. Namun, lanjutnya, hal itu bagian dari persiapan Iran jika AS kembali menyerang mereka atau Israel melanggar gencatan senjata seperti genosida di Gaza Palestina.
Baca Juga: Jika Iran Tutup Selat Hormuz, Ini Antisipasi Pertamina Amankan Pasokan Minyak
"Dalam konteks itu, Iran akan bertindak untuk melindungi diri dan warga Gaza,” ujar Didin kepada Kontan, Senin (30/6).
Selat Hormuz merupakan jalur vital perdagangan minyak dunia yang dilalui sekitar 20% pasokan minyak global. Penutupan jalur ini, kata Didin, akan berdampak besar terhadap stabilitas energi global.
“Jika Selat Hormuz ditutup, harga minyak dunia bisa melonjak ke level US$ 90 hingg US$ 130 per barel. Ini akan menjadi goncangan global yang luar biasa,” tegasnya.
Kenaikan harga minyak itu diperkirakan akan membebani fiskal Indonesia, terutama dari sisi belanja subsidi energi.
Didin memperkirakan subsidi energi bisa meningkat dua kali lipat dibandingkan asumsi awal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Baca Juga: Iran Ancam Tutup Selat Hormuz, Harga Minyak Dunia Terancam Tembus US$130 per Barel
“Dengan lonjakan harga minyak, belanja subsidi energi bisa porak-poranda. Kenaikannya bisa dua kali lipat dan akan mengganggu stabilitas APBN. Maka target pertumbuhan ekonomi di atas 5% akan sangat sulit tercapai,” jelasnya.
Didin menegaskan pentingnya peran aktif Indonesia dalam diplomasi internasional untuk mencegah eskalasi konflik di Timur Tengah.
Menurutnya, Indonesia harus mendorong forum seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok untuk mendesak penghentian genosida di Gaza dan mencegah pecahnya perang terbuka antara Iran dan Israel.
“Jika diplomasi damai ini berhasil, maka potensi pecahnya perang besar bisa dicegah. Stabilitas energi global tetap terjaga dan Indonesia masih memiliki peluang untuk mengejar pertumbuhan ekonomi di atas 5%,” tutup Didin.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menyiapkan berbagai langkah mitigatif untuk menjaga stabilitas ekonomi makro di tengah tekanan global, termasuk gejolak nilai tukar rupiah, ketegangan geopolitik, dan risiko perlambatan ekonomi dunia.
Baca Juga: Selat Hormuz Jalur Vital Bagi Perdagangan Migas dan Dampak ke Ekonomi Global
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro menegaskan, sinergi antarotoritas fiskal dan moneter menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
“Koordinasi erat antara Kemenkeu dan Bank Indonesia terus dilakukan, termasuk juga dengan OJK dan LPS dalam kerangka Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan nilai tukar Rupiah,” jelas Deni.
Salah satu fokus utama pemerintah adalah penguatan cadangan devisa dan stabilisasi nilai tukar rupiah.
Setelah sempat menyentuh level Rp1 7.000 per dolar AS, rupiah kini bergerak membaik mendekati Rp16.000 per dolar AS, yang dinilai lebih sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia.
“Upaya stabilisasi terus dilakukan untuk merespons tekanan global, termasuk perang tarif dan volatilitas pasar keuangan dunia,” lanjut Deni.
Baca Juga: Iran Ancam Tutup Selat Hormuz, Ini Dampaknya Bagi Perekonomian Global
Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah menyusun langkah responsif berupa stimulus fiskal terarah dan rekonstruksi belanja negara. Tujuannya adalah untuk menjaga daya beli masyarakat serta mendorong sektor produktif tetap tumbuh di tengah tekanan.
Tak hanya itu, pemerintah juga memperkuat diversifikasi energi dan ketahanan pangan sebagai bagian dari strategi memperkuat sektor strategis domestik dalam menghadapi guncangan eksternal.
Meski tantangan global cukup besar, pemerintah tetap menyatakan optimisme. Pengalaman menangani pandemi Covid-19 dan tensi dagang global menjadi pijakan untuk menjaga kepercayaan investor dan kesinambungan pemulihan ekonomi nasional.
Baca Juga: Iran Ancam Tutup Selat Hormuz, Ini Dampaknya Bagi Perekonomian Global
“Fondasi ekonomi domestik, terutama konsumsi rumah tangga dan ekspor, masih solid. Reformasi struktural terus dijalankan untuk menopang daya saing dan pertumbuhan jangka menengah,” pungkas Deni.
Selanjutnya: IHSG dan Emas Kompak Lesu Bulan Juni, Simak Tips Atur Ulang Portofolio Berikut
Menarik Dibaca: Tiket Diskon KAI Terjual 1,89 Juta Kursi, Ini KA dengan Tarif di Bawah Rp 100 Ribu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News