Reporter: SS. Kurniawan | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - Berat. Beban itu yang bakal Anis pikul mulai tahun depan. Bagaimana tidak berat? Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan naik dua kali lipat.
Itu sebabnya, perempuan yang tinggal di Jakarta Timur ini berencana turun kelas. Anis dan keluarganya saat ini tercatat sebagai peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) BPJS Kesehatan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
"Saya berencana turun ke kelas III," kata Anis kepada Kontan.co.id, Kamis (31/10). Sebab, kalau tetap mengambil kelas I BPJS K, ia harus merogoh kocek total Rp 800.000 per bulan termasuk untuk suami dan ketiga anaknya.
Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan Naik Dua Kali Lipat Jadi Kado Terburuk dari Pemerintahan Baru premium
Sekarang hingga Desember nanti, Anis cukup membayar iuran BPJS Kesehatan separuhnya, Rp 400.000 per bulan untuk manfaat perawatan Kelas I. Kelak, dengan turun ke kelas III, ia hanya perlu mengeluarkan uang total Rp 210.000.
Ya, mulai 1 Januari 2020, iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan naik. Aturan mainnya tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang terbit 24 Oktober lalu.
Selain Kelas I, iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II dan III juga naik. Iuran kelas II naik menjadi Rp 110.000 per peserta per bulan, dari Rp 51.000.
Baca Juga: Perpres terbit, ini dia iuran baru peserta BPJS Kesehatan
Sedang iuran peserta mandiri Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja naik jadi Rp 42.000 per orang per bulan, dari sebelumnya hanya Rp 25.500.
Kenaikan iuran juga berlaku bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan penduduk yang pemerintah daerah daftar menjadi Rp 42.000 per orang per bulan. Premi baru bahkan berlaku mulai 1 Agustus 2019.
Begitu juga dengan iuran peserta Pekerja Penerima Upah (PPU). Memang, tarifnya tetap sebesar 5% tapi batas atas upah naik menjadi Rp 12 juta per bulan, dari sebelumnya Rp 8 juta.
Kenaikan iuran menjadi solusi baru pemerintah untuk menekan defisit keuangan BPJS Kesehatan yang terus melebar. Tahun ini, BPJS memperkirakan, angka defisit mencapai Rp 32 triliun, melonjak dari 2018 sebesar Rp 18,3 triliun.
Defisit Keuangan BPJS Kesehatan dari Tahun ke Tahun
Tahun | Defisit Anggaran |
2014 | Rp 3,3 triliun |
2015 | Rp 5,7 triliun |
2016 | Rp 9,7 triliun |
2017 | Rp 9,75 triliun |
2018 | Rp 18,3 triliun |
2019 | Rp 32 triliun (proyeksi) |
Sumber: Riset Kontan
Sejatinya, berbagai jurus sudah BPJS Kesehatan lakukan untuk menekan defisit. Contoh, Juli tahun lalu mereka mengeluarkan tiga aturan mengenai jaminan pelayanan kesehatan yang berefek pada pengurangan layanan.
Baca Juga: Sah! Iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri naik 100% mulai Januari 2020
Misalnya, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik. Beleid ini menyebutkan, ada frekuensi maksimal rehabilitasi medis atau fisioterapi.
Lalu, BPJS Kesehatan tidak lagi menanggung obat bevasizumab yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan kanker, dan cetuximab untuk pengobatan kanker kolorektal (kanker usus besar).
Selain itu, BPJS mengenakan sanksi bagi yang menunggak iuran. Contohnya, denda layanan sebesar 2,5% dari biaya pelayanan rumahsakit yang telah peserta gunakan dikalikan jumlah masa tunggakan yang telah berjalan. Meski terus bergulir, besaran maksimal denda Rp 30 juta.
Baca Juga: Iuran naik, BPJS Kesehatan: Pemerintah masih tanggung iuran terbesar
Bahkan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto akan menyerahkan gaji pertamanya sebagai menteri untuk BPJS Kesehatan. "Kalau pribadi saya, saya akan menyerahkan gaji pertama saya sebagai menteri dan tunkin (tunjangan kinerja)," katanya mengutip video unggahan di akun Youtube KompasTV, Jumat (25/10).
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf menilai, langkah menteri kesehatan itu merupakan gerakan moral yang harus semua pihak dukung. "Kepedulian beliau diharapkan bisa menular kepada masyarakat," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (29/10).
Wakil Menteri Keuangan periode sebelumnya Mardiasmo mengungkapkan, kategori peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) yang membuat keuangan BPJS Kesehatan berdarah-darah.
“Yang relatif mampu. Inilah yang sebenarnya sumber membawa BPJS Kesehatan defisit. Karena dia mendaftar (BPJS Kesehatan) saat sakit, dan begitu sudah sembuh dia berhenti bayar premi,” ujar Mardiasmo, Senin (7/10).
Jumlah peserta ini sebanyak 32 juta orang. Tapi, hanya 50% yang membayar iuran rutin tiap bulan. “Dalam asuransi yang bagus, kan, no premi, no klaim. Jadi, ini yang menyebabkan BPJS (Kesehatan) bleeding,” kata Mardiasmo.
Peserta BPJS Kesehatan (221.203.615 orang)
Peserta | Jumlah (orang) |
PBI APBN | 94.147.742 |
PBI APBD | 37.182.619 |
PPU Pemerintah | 17.488.627 |
PPU Swasta | 34.771.762 |
PBPU | 32.606.544 |
Bukan Pekerja | 5.006.321 |
Sumber: BPJS Kesehatan per 30 September 2019
Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan naik, BPJS Watch: Keinginan membayar peserta mandiri menurun
Lebih parahnya lagi, lanjut Mardiasmo, rata-rata golongan PBPU tersebut memiliki penyakit yang masuk golongan katastropik atau penyakit yang perawatannya membutuhkan biaya yang tinggi.
Toh, berbagai jurus yang sudah pemerintah dan BPJS keluarkan tidak ampuh-ampuh amat. Defisit BPJS Kesehatan tetap membengkak.
Alhasil, jurus mengerek premi pun keluar. Hanya, menurut Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni, jika kenaikan iuran berlaku mulai 2020, maka sustainabilitas dana Program JKN bisa tercapai di 2021 mendatang.
"Dengan asumsi, pemerintah telah menyelesaikan akumulasi defisit hingga akhir 2019," katanya, Selasa (27/8) lalu.
Baca Juga: YLKI: Kenaikan iuran BPJS Kesehatan kontra produktif
Yang terang, Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Mundiharno mengatakan, Program JKN-KIS juga memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia
Kontribusi total Program JKN-KIS terhadap perekonomian Indonesia pada 2016 mencapai Rp152,2 triliun. "Pada 2021, kontribusinya diperkirakan meningkat menjadi Rp 289 triliun," kata Mundiharno mengutip situs resmi BPJS Kesehatan.
Apapun, beban Anis dan masyarakat Indonesia lainnya semakin berat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News