Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akhirnya menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres No. 75 tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid ini diundangkan pada 24 Oktober 2019.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan bisa memicu hal yang kontra produktif bagi BPJS Kesehatan, walaupun kenaikan iuran ini bisa mengatasi defisit BPJS Kesehatan saat ini.
Menurut Tulus, dua hal yang memicu fenomena kontra produktif ini adalah adanya gerakan turun kelas peserta BPJS Kesehatan. Tak hanya itu, penunggak iuran pun akan semakin masif, khususnya dari peserta mandiri.
Baca Juga: Iuran BPJS untuk PBI dan kelas III naik, ini kata Wamenkeu Suahasil Nazara
"Jika kedua fenomena itu menguat, maka bisa menggegoroti finansial BPJS Kesehatan secara keseluruhan," tutur Tulus dalam keterangan tertulis, Rabu (30/10).
Menurut Tulus, pemerintah sebaiknya melakukan beberapa langkah sebelum menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Pertama, melakukan cleansing data golongan penerima bantuan iuran (PBI), mendorong perusahaan menjadi anggota BPJS Kesehatan, serta mengalokasikan kenaikan cukai rokok langsung untuk BPJS Kesehatan.
Tulus berpendapat, bila pemerintah melakukan hal tersebut, maka pemerintah tak perlu menaikkan iuran hingga 100%. "Jika ketiga point itu dilakukan maka secara ekstrim kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak perlu dilakukan, atau setidaknya tidak perlu naik sampai 100%," kata Tulus.
Baca Juga: Sah! Iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri naik 100% mulai Januari 2020
Dengan kenaikan iuran ini, YLKI juga meminta agar pelayanan yang diberikan BPJS Kesehatan lebih baik dan tidak ada diskriminasi pada anggota atau yang bukan anggota BPJS Kesehatan, dan fasilitas kesehatan juga terus meningkatkan pelayanan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News