kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini pengalaman 3 negara yang gagal melakukan redenominasi


Senin, 13 Juli 2020 / 06:54 WIB
Ini pengalaman 3 negara yang gagal melakukan redenominasi
ILUSTRASI. Redenominasi Rupiah ----- Petugas menghitung uang rupiah di cash center Bank Mandiri Jakarta, Rabu (19/7). Bank Indonesia dan Komisi sebelas DPR sedang menggodok payung hukum redenominasi rupiah. Masa transisi redenominasi deperkirakan memakan waktu tujuh


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Isu penyederhanaan nilai rupiah atau yang dikenal dengan istilah redenominasi kembali digulirkan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI). 

Nantinya, penyederhanaan rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang, contohnya Rp 1.000 menjadi Rp 1. Redenominasi pernah dilakukan oleh beberapa negara di dunia. Ada yang berhasil dengan baik, ada pula yang dampaknya tidak begitu berarti bagi perekonomiannya, bahkan mengalami kegagalan yang mendekatkan pada krisis ekonomi. 

Berikut contoh 3 negara yang pernah berlakukan redenominasi. 

Baca Juga: Waktu pembahasan RUU Redenominasi rupiah masih belum jelas

1. Brasil 

Brasil tercatat pernah melakukan redenominasi pada mata uangnya. Kendati demikian, negara ini mengalami banyak kerugian setelah mengubah jumlah digit karena buruknya kondisi ekonominya saat itu. Situasi politiknya juga masih bergejolak. 

Pasca-redenominasi, mata uang Brasil terdepresiasi parah terhadap dollar AS. Tingkat inflasi juga naik tajam hingga sempat mencapai 500% per tahun. Pemerintah dan Bank Sentral Brasil mengubah nomimal sekaligus mata uang dari cruzeiro menjadi cruzado sepanjang tahun 1986 sampai tahun 1989. 

2. Korea Utara 

Pemerintah komunis Korea Utara pernah melakukan redenominasi dengan mengubah 100 won menjadi 1 won. Namun realisasi di lapangan jauh dari sukses. Di pemberlakukan redenominasi pada tahap awal, banyak warga yang panik karena kurangnya sosialisasi. Saat itu, banyak warga yang datang ke bank menggantikan uang lama dengan uang baru, namun stok uang baru malah banyak yang tidak tersedia. 

Baca Juga: Kemenkeu tegaskan pembahasan RUU Redenominasi rupiah tak dibahas tahun ini

Banyak kalangan menilai, redenominasi mata uang won Korea Utara dilakukan di waktu yang kurang pas, karena saat itu mereka tengah dilanda krisis. 

3. Rusia 

Rusia pernah melakukan redenominasi mata uangnya, namun upaya mengganti mata uang lama tak berjalan sesuai rencana. Di awal redenominasi, nilai tukar kurs mata uang rubel Rusia sempat terjun bebas. Negeri Beruang Putih itu juga kurang melakukan sosialisasi masif penggunaan mata uang baru dan penarikan bertahap mata uang lama. 

Kondisi keuangan negara yang sulit juga berkontribusi pada kegagalan redenominasi. 

Baca Juga: Redenominasi rupiah perlu disosialisasikan terus menerus agar tak salah kaprah

Contoh sukses redenominasi 

Turki jadi salah satu negara yang terbilang sukses menerapkan redenominasi. Negara Dua Benua itu melakukan redenominasi pada tahun 2005 dan prosesnya bertahap. Saat itu, setiap 1 dollar AS bernilai sekitar 100.000 lira (mata uang Turki). 

Dalam kurun waktu 7 tahun, Turki mulai menarik uang lira lama dan menggantinya dengan mata uang yang baru. Selama redenominasi, awalnya banyak warganya yang masih kebingungan dalam transaksi dengan dua mata uang yang berbeda. 

Baca Juga: Kemenkeu berencana redenominasi mata uang rupiah

Stabilitas ekonomi dan tingginya pertumbuhan ekonomi Turki saat itu, membuat redenominasi bisa dikatakan cukup berhasil dilakukan. Perlahan, uang lama sudah ditarik dari peredarannya dan digantikan dengan uang baru yang sudah akrab dipakai publik. 

Meski demikian, beberapa tahun setelah sukses melakukan redenominasi, negara ini juga akhirnya dilanda krisis ekonomi parah. Krisis ekonomi di Turki bahkan masih berlanjut hingga saat ini. 

Meski sudah melakukan redenominasi, mata uang lira kembali terjun bebas di hadapan dollar AS.  

Redenominasi rupiah 2020 di Indonesia 

Redenominasi sebenarnya bukan hal baru dan wacana ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Pro dan kontra mewarnai wacana redenominasi tersebut, isunya timbul tenggelam digantikan riuh politik di Indonesia dan tak benar-benar direalisasikan hingga saat ini. 

Pada tahun 2017, pertama kalinya Kementerian Keuangan bersama BI mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang secara resmi. Saat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Gubernur BI (periode 2013-2018) dan Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengajukan permohanan RUU Redemoninasi Mata Uang kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Baca Juga: Risiko dan biaya besar, rencana redenominasi rupiah perlu persiapan matang

Awalnya, pelaksanaan redenominasi ditargetkan bisa terealisasi pada 1 Januari 2020. Namun landasan hukumnya belum juga keluar. Wacana redenominasi pun kembali dilanjutkan, namun pembahasan payung hukumnya tak pernah selesai hingga berakhirnya masa kerja DPR periode 2014-2019. 

Sejak 2018 hingga 2020, RUU Redenominasi Rupiah 2020 tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). 

Kini rencana redenominasi kembali dilanjutkan di tengah pandemi Covid-19. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. 

Baca Juga: Ekonom IKS menilai saat ini bukan waktu yang tepat untuk revisi UU BI

Lalu apa itu redenominasi? Dikutip dari KBBI, redenominasi artinya penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan (nilai) uang. Sanering pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1959. Saat itu, pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 diturunkan nilainya masing-masing menjadi pecahan Rp Rp 50 dan Rp 100. 

Redenominasi adalah berbeda dengan sanering. Sanering adalah mengurangi nilai mata uang, sementara redenominasi hanya menyederhanakan nominal dan nilainya tidak berkurang. 

Ada sejumlah manfaat dari dilakukannya redenominasi. Di antaranya mempermudah perhitungan dalam praktik-praktik akuntansi seperti pembukuan hingga laporan keuangan sehingga lebih mudah dibaca. Lalu, redenominasi juga terkait dengan tingkat kepercayaan terhadap mata uang rupiah. 

Baca Juga: Redenominasi rupiah, manfaat dan risiko yang perlu diantisipasi pemerintah

Nilai tukar mata uang rupiah saat ini dinilai terlalu mahal, meski sebenarnya jumlah nominal pada uang tidak selalu mencerminkan kekuatan mata uang tersebut. Sebagai contoh, pencantuman nominal rupiah di hadapan dollar AS dianggap terlalu banyak. Hal ini juga dianggap tidak praktis. 

Misalnya, sebelum redenominasi 1 dollar AS saat ini adalah Rp 14.400, setelah redenominasi maka 1 dollar AS menjadi Rp 14,4. 

Baca Juga: RUU Redenominasi diupayakan masuk DPR tahun ini

Dengan pengurangan nominal pada rupiah, diharapkan menciptakan persepsi yang lebih baik mengenai perekonomian Indonesia, peningkatan efisiensi, serta penghematan signifikan dalam biaya pencetakan uang. Redenominasi juga diperlukan untuk menyederhanakan uang yang nilainya terus menerus tergerus inflasi. 

Pelaksanaan redenominasi juga butuh waktu yang panjang, dari mulai sosialisasi hingga penarikan uang lama yang beredar dan menggantinya dengan uang yang baru.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pengalaman 3 Negara yang Gagal Lakukan Redenominasi"
Penulis : Muhammad Idris
Editor : Muhammad Idris

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×