kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.906.000   4.000   0,21%
  • USD/IDR 16.249   -5,00   -0,03%
  • IDX 7.047   42,07   0,60%
  • KOMPAS100 1.029   8,11   0,79%
  • LQ45 786   6,95   0,89%
  • ISSI 231   0,98   0,43%
  • IDX30 406   4,77   1,19%
  • IDXHIDIV20 470   5,25   1,13%
  • IDX80 116   1,04   0,90%
  • IDXV30 117   1,12   0,96%
  • IDXQ30 131   1,74   1,35%

Indonesia Butuh Stimulus Rp 90 Triliun dan Pemangkasan Bunga 50 Bps Demi PDB Naik 5%


Sabtu, 12 Juli 2025 / 00:02 WIB
Indonesia Butuh Stimulus Rp 90 Triliun dan Pemangkasan Bunga 50 Bps Demi PDB Naik 5%
ILUSTRASI. U.S. President Donald Trump gestures during a press conference at a NATO summit in The Hague, Netherlands June 25, 2025. REUTERS/Yves Herman


Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi mengumumkan penerapan kembali kebijakan tarif resiprokal global, yang mulai berlaku pada 1 Agustus 2025. Indonesia termasuk salah satu negara yang terkena dampak langsung, dengan tarif ekspor ke AS dikenakan sebesar 32%, tetap sama sejak April, tapi jauh di atas tarif dasar Indonesia sebesar 21%.

Padahal, Indonesia telah lebih awal memulai proses negosiasi perdagangan dan menawarkan akses pasar yang lebih besar untuk produk dan bisnis asal Amerika Serikat. Namun, potensi penurunan tarif yang diharapkan dari hasil negosiasi itu kini terancam batal, menyusul pernyataan Presiden Trump tentang rencana pengenaan tarif tambahan sebesar 10% bagi negara-negara yang menunjukkan keberpihakan terhadap kelompok BRICS di mana Indonesia resmi bergabung ke BRICS pada Januari 2025.

Dalam laporan analisis terbaru, Analis CGS International Sekuritas Wisnu Trihatmojo menyebutkan tarif yang lebih tinggi dari perkiraan menjadi risiko tambahan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Kami baru-baru ini memangkas proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun fiskal 2025 telah direvisi turun dari 5% menjadi 4,8%, dan tarif tambahan dari AS bisa menekan pertumbuhan hingga mendekati 4,7%," ujar dia dalam riset 8 Juli. 

Baca Juga: Trump Berlakukan Tarif Baru, Harga Emas di Pasar Spot Naik Lebih Dari 1%

Di samping konsumsi yang melemah, secara khusus Wisnu memperkirakan setiap pengenaan tarif AS sebesar 10% akan mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,1% poin per tahun. "Namun dengan mempertimbangkan jeda tarif atau perpanjangan tenggat waktu, kami akan menunggu hingga Agustus 2025 ketika tarif tersebut benar-benar berlaku sebelum mengurangi proyeksi pertumbuhan PDB kami," jelas dia. 

Wisnu percaya pemerintah akan lebih proaktif meminimalkan risiko pertumbuhan PDB. Dari perspektif fiskal, dia memperkirakan, stimulus sebesar Rp 30 triliun diperlukan untuk mendorong pertumbuhan PDB sebesar 0,1%. Ini menyiratkan bahwa dibutuhkan Rp 90 triliun untuk mengembalikan perekonomian ke laju pertumbuhan 5%. "Sayangnya pada saat ini, pendapatan dan batas defisit fiskal pemerintah dapat membatasi pengeluaran yang lebih tinggi," pendapat dia. 

Karena itu, Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar memainkan peran utama dalam memberikan stimulus tambahan melalui pelonggaran kebijakan moneter. "BI diperkirakan akan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) pada sisa tahun 2025, dan kemungkinan 50 bps lagi pada 2026 bahkan mungkin lebih besar, tergantung pada perkembangan ke depan," pendapat Wisnu. 

Pasalnya AS merupakan penyumbang surplus perdagangan terbesar kedua bagi Indonesia setelah India pada tahun 2024. Tren ini terus meningkat. Menurut data CEIC industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki menyumbang sebagian besar surplus perdagangan senilai US$ 14,3 miliar dengan Amerika Serikat (AS). 

Indonesia kini menghadapi tantangan persaingan yang lebih ketat dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Malaysia, yang menikmati tarif timbal balik lebih rendah dari AS. Ekspor Asia Tenggara ke AS berdasarkan sistem harmonisasi (HS) basis 2, Indonesia paling bersaing dengan Vietnam dalam hal tekstil dan alas kaki. Sedangkan dengan Malaysia, Indonesia harus bersaing atas produk CPO dan elektronik. Sedangkan dengan Thailand harus bersaing dari sisi elektronik.

Baca Juga: Gara-Gara Kebijakan Trump Harga Kopi di AS bisa Meroket!  

Di luar isu tarif, Indonesia juga dinilai perlu melakukan reformasi struktural dan deregulasi untuk mengatasi hambatan-hambatan non-tarif yang dikeluhkan pelaku usaha asing. Laporan dari Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) menyoroti masalah serius dalam hal perpajakan, komunikasi, kepastian hukum, dan perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia.

Bahkan, peringkat daya saing Indonesia dalam World Competitiveness Ranking 2025 yang dirilis oleh International Institute for Management Development (IMD) turun ke posisi 40 dari 69 negara. Poin terlemah Indonesia adalah di bidang infrastruktur pendidikan dan teknologi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×