Reporter: Indra Khairuman | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indeks manufaktur atau PMI Manufaktur Indonesia masih terkontraksi di level 47,4 pada bulan Mei 2025. Ini menunjukkan masih adanya tekanan di sektor industri pengolahan.
Lemahnya permintaah domestik dan ekspor, ditambah tingginya biaya karena depresiasi rupiah, memperburuk situasi ini dan menandakan adanya perlambatan ekonomi yang lebih besar di kuartal kedua.
M Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan, turunnya PMI Manufaktur Indonesia di bulan Mei 2025 ini tidak hanya menunjukkan pelemahan siklikal, tetapi juga mengindikasikan adanya tekanan struktural yang semakin dalam pada sektor industri pengolahan.
“Lesunya permintaan baik dari pasar domestik maupun ekspor mencerminkan bahwa daya beli belum sepenuhnya pulih, sementara pasar global juga belum menunjukkan rebound signifikan,” ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Senin (2/6).
Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia di Mei 2025 Terkontraksi ke Level 47,4
Lebih lanjut, Rizal menegaskan masalah yang lebih serius terkait biaya input. “Tekanan dari sisi biaya input, terutama bahan baku impor yang mahal karena depresiasi rupiah yang memicu stagnasi produksi,” kata Rizal.
Hal ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur Indonesia kurang mampu dalam menghadapi guncangan eksternal, mengingat struktur industri yang belum kuat dan terdiferensiasi.
Dengan PMI yang dalam zona kontraksi selama dua bulan berturut-turut, yaitu April di angka 48,9 dan Mei di angka 47,4, Rizal bilang, ini merupakan tanda yang jelas terjadinya perlambatan ekonomi di kuartal II-2025.
“Ini menjadi alarm dini (early warning) bahwa perekonomian tidak dalam jalur ekspansi sehat, apalagi jika sektor manufaktur yang berperan strategis terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja justru melemah,” ucap Rizal.
Rizal juga memberikan kritiknya terkait efektivitas stimulus yang digelontorkan pemerintah.
“Pola belanja negara yang tetap konsumtif tanpa mendorong sisi produksi justru memperkuat kesenjangan antara permintaan jangka pendek dan suplai riil,” jelas Rizal.
Tanpa adanya pemulihan pada sektor perdagangan, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% akan menjadi angka yang tidak berarti tanpa dukungan dari produksi yang kuat.
Rizal menambahkan, masa depan sektor manufaktur akan tetap menghadapi banyak tantangan.
“Perlu disadari, kekuatan manufaktur tidak hanya bergantung pada stimulus fiskal jangka pendek, tapi pada rekayasa setruktural yang mampu menumbuhkan kapasitas industri dari hulu hingga hilir,” ujar Rizal.
Baca Juga: PMI Manufaktur Beri Sinyal Perlambatan, Bagaimana Nasib Industri Padat Karya?
Jika pemerintah terus fokus pada insentif permukaan tanpa menangani masalah seperti biaya logistik, kompleksitas izin, dan keterbatasan teknologi, maka sektor manufaktur akan terus berada dalam keadaan yang rentan dan tidak bertahan lama.
“Singkatnya, tanpa reorientasi kebijakan industri yang serius dan terintegrasi, kontraksi ini bisa menjadi gejala awal stagnasi ekonomi yang lebih luas pada semester kedua 2025,” tambah Rizal.
Selanjutnya: Intip Tarif Hotel Mewah Para Pejabat Saat Dinas Dalam Negeri Mulai Tahun 2026
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Tranexamic Acid untuk Wajah, Ketahui Juga Efek Sampingnya!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News