kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ilmuwan Indonesia lebih dihargai di negeri orang


Kamis, 17 Desember 2015 / 07:05 WIB
Ilmuwan Indonesia lebih dihargai di negeri orang


Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Hubungan baik antara universitas, pemerintah, dan industri di luar negeri menciptakan iklim positif bagi pertumbuhan penemuan-penemuan baru. Jepang adalah salah satu  contoh surga bagi para penemu, termasuk yang berasal dari Indonesia.

Meski bukan tanpa hambatan, onak berduri yang menghadang masih jauh lebih ringan ketimbang yang musti dihadapi peneliti semacam Warsito Purwo Taruno di tanah air. Kondisi semacam ini dirasakan betul oleh Khoirul Anwar, peneliti asal Indonesia yang kini bermukim di Jepang. Ia kini bekerja di Nara Institute of Science and Technology, Jepang.

Saat pertama kali mempresentasikan temuannya soal transmisi wireless dengan dua buah FFT, ia pun sempat diremehkan. “Tapi yang dialami Dr. Warsito lebih berat karena yang dihadapi langsung bangsa sendiri,” kata Khoirul dalam korespondensi via e-mail dengan KONTAN.

Ceritanya, pada 2004 ia memulai penelitian yang merupakan proyek bersama dengan industri di Jepang. Riset ini awalnya untuk sistem komunikasi satelit yang memerlukan sistem yang sangat efisien, baik dari penggunaan power, kompleksitas, dan terutama ketahanan terhadap error.

Ia lantas menemukan ada cara yang lebih baik dan mudah, yakni dengan menggunakan dua jenis blok. Sehingga kompleksitas turun dari 100% menjadi hanya 5%. Bahkan hanya 0,5% jika bloknya lebih panjang. Blok inilah yang disebut Fast Fourier Transform (FFT) yang dipakai berurutan dua kali.

Temuannya ini lantas dipresentasikan di sebuah even di Hokkaido pada 2015. “Chairman acara itu berkomentar, temuan ini tidak ada gunanya karena kedua FFT tadi akan saling meng-cancel,”
kisah Khoirul.

Komentar serupa ia terima saat presentasi di Australia. Konsepnya memang tidak normal. Sebab, biasanya Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) hanya memakai satu FFT di transmitter.

Tak patah arang, Khoirul mematenkan penemuannya. Biayanya yang lebih dari 1 juta yen ia ajukan ke pemerintah Jepang. Singkat cerita, 100% biaya paten itu ditanggung pemerintah. “Kemudian saya submit ke Amerika Serikat dan mendapatkan penghargaan best student paper di IEEE Radio and Wireless Symposium 2006,” tuturnya.

Perangkat kerasnya segera dibuat oleh industri di Osaka dan Tokyo. Pada 2007-2008, konsep yang dibuat Khoirul digunakan sebagai dasar standar 4G yang juga memakai dua buah FFT. Awal tahun 2010, temuan Khoirul yang “tidak normal” tadi menjadi standar dunia yang dikeluarkan oleh International Telecommunication Union (ITU).

Kini, lelaki asal Kediri, Jawa Timur, itu sedang melakukan penelitian baru untuk teknologi 5G. Menurutnya, sistem komunikasinya akan lebih kompleks karena tidak hanya melibatkan manusia tetapi juga melibatkan mesin (device).

Jumlah perangkat komunikasi mobile pada tahun 2020 diprediksi melebihi 50 miliar unit. Sementara manusia penggunanya hanya sekitar 5 miliar. Dus, diperlukan teknologi baru, terutama dari sisi struktur jaringannya.

Saat ini network masih dianggap “sekadar connection”, belum memiliki kemampuan error correction. “Saya mengusulkan, network 5G memiliki makna untuk koreksi error,” katanya.


Meradar dari Jepang
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ilmuwan Indonesia lain yang juga mendunia dari tanah Negeri Sakura. Joshapat, akrab disapa Josh, adalah profesor di Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Jepang. Ia juga mengelola Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory.

Dunia mengenalnya sebagai penemu yang produktif di bidang komunikasi satelit bergerak dan penginderaan jarak jauh. Hingga saat ini sudah lebih dari 100 paten ia kantongi.

Di Indonesia, nama Josh semakin dikenal luas saat Joko Widodo berencana membeli drone untuk mengawasi wilayah Indonesia pada kampanye pemilihan presiden 2014 lalu. Josh menawarkan pesawat tanpa awak buatannya yang diklaim lebih canggih dan jauh lebih murah.

Josh memang selalu berangkat dari kebutuhan pemerintah, industri, dan masyarakat terhadap teknologi. Termasuk lembaga pemerintah dan industri di Indonesia. Dus, perjalanan kariernya sebagai ilmuwan juga tak lepas dari kolaborasi apik dengan pemerintah dan industri.

Penemuannya yang telah dipatenkan (patent PCT/JP03/05162 atau WO 2004/066443) atas antena tipis dengan ketebalan 1.6 mm, dapat beroperasi di dua frekuensi
S-band, telah digunakan oleh beberapa perusahaan Jepang. Teknologi dasar antena ini mengkaver 118 negara. “Saya mendapatkan ide dari bentuk wayang gunungan di Jawa,” kata Josh lewat surat elektronik kepada KONTAN.

Penemuan terbarunya adalah circularly polarized synthetic aperture radar (CP-SAR) dengan patent No. 2014-21490. Ini adalah radar yang bekerja di gelombang mikro (microwave) yang dapat menembus awan, asap, hingga kabut. Juga bisa dioperasikan pada siang dan malam hari. Teknologi ini dapat dipasang di pesawat tanpa awak, pesawat berawak, hingga satelit.

Berbagai lembaga ruang angkasa tertarik dan bekerjasama untuk pengembangan CP-SAR. Mulai dari National Aeronautics and Space Administration (NASA) untuk keperluan pengamatan bulan, planet Mars, dan Venus. Juga European Space Agency, Korea Aerospace Research Institute, National Space Organization Taiwan, Japan Aerospace Exploration Agency, hingga Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Beberapa perusahaan dari Jepang, Indonesia, Korea, Taiwan, dan Belanda juga membantu pengembangan sensor ini untuk keperluan pengamatan permukaan bumi dan planet lain. “Maaf nama perusahaan belum boleh di publish. Setelah menjadi produk tahun 2016, rencananya akan dipublikasi bersama,” ujar Josh.

Semoga “Josh dan Khoirul yang lain” bisa tumbuh dan berkembang di negeri sendiri, tanpa kudu mengungsi dulu.    


Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 12-XX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×