kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hadapi Gugatan di WTO, Ini yang Harus Dicermati Pemerintah


Minggu, 11 September 2022 / 18:00 WIB
Hadapi Gugatan di WTO, Ini yang Harus Dicermati Pemerintah
ILUSTRASI. Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan proteksi perdagangan komoditas yang ternyata dipermasalahkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan proteksi perdagangan komoditas yang ternyata dipermasalahkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Persoalannya, WTO juga dinilai tidak bisa mengendalikan lonjakan harga komoditas akibat perang dan banyaknya proteksi ekspor komoditas di berbagai negara lain. Nah, apakah WTO masih layak menjadi wasit perdagangan internasional?

Pengamat perdagangan internasional Deny W Kurnia mengatakan, layak atau tidaknya WTO sebagai lembaga regulator perdagangan internasional, karena tidak ada alternatif lain yang bisa mengatur perdagangan saat ini.

“Apakah pengadilannya penting? Ya memang penting. Karena pengadilannya bisa menjadi penjaga yang bisa menghindarkan negara yang ingin melakukan kecurangan. Sehingga di pengadilan itu bisa diatasi,” tutur Deny kepada Kontan.co.id, Minggu (11/9).

Baca Juga: Ini yang Akan Terjadi Bila Indonesia Kalah Gugatan Soal Nikel di WTO

Ia menambahkan, WTO dengan segala macam kelemahannya, tetap banyak manfaat yang dirasakan yakni menjadi lembaga yang mengatur tata kelola perdagangan internasional. Sehingga WTO sebagai dibutuhkan untuk memastikan keterbukaan perdagangan internasional sehingga semua negara bisa memperjual belikan barang dalam negerinya.  

“Sehingga dalam konteks ini bukan berarti WTO buruk. Jadi anggap saja berbeda. Persoalannya adalah bagaimana mengubah regulasi tentang ekspor agar negara memiliki ha katas pembatasan ekspornya saat diperlukan,” jelasnya.

Dalam konteks permasalahan ini, banyak negara ingin melakukan hirilisasi dengan cara menghambat ekspornya termasuk Indoensia, yang ternyata tidak ada aturannya.

Namun, menurut Deny, merujuk pada pasal XI:1 The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994, membolehkan negara meregulasi, menghambat, membatasi ekspor bahan mentah jika memang industri domestiknya membutuhkan, jadi untuk kepentingan diri sendiri. Dalam pasal tersebut sebenarnya adil, sebab negara lain berhak mendapatkan bahan mentah, tetapi negara sendiri juga berhak memperolehnya.

“Sehingga ekspor mentah jangan dihambat, tapi kalau di dalam negeri membutuhkan boleh lah. Kira-kira dalam pasal XI:1 GATT itu,” jelasnya.

Selain itu, sebenarnya dalam aturan WTO juga terdapat aturan yang memberikan ruang  kepada negara untuk memanfaatkan bahan mentah untuk kepentingan negeri sendiri. Hanya saja, karena GATT dan regulasi WTO dinegosiasikan pada tahun 1993, sehingga kepentingan hirilisasi negara berkembang belum dihitung dan tidak dibahas.

Dus, dalam pasal XI:1 GATT  tidak spesifik ada aturan yang memberikan justifikasi kepada negara untuk menghambat ekspor dalam rangka hirilisasi. Dan ini yang dipermasalahkan oleh Uni Eropa, dan kemudian dikatakan oleh Hakim WTO salah.

Selain itu, yang menjadi permasalahan Uni Eropa juga adalah terkait UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menerapkan pelarangan ekspor bahan mentah produk pertambangan. Uni Eropa menganggap UU Minerba yang ditetapkan menyulitkan mereka untuk kompetitif dalam industri besi dan baja khususnya produktivitas industri stainless steel Uni Eropa.

Maka itu, Deny berpesan, Pemerintah mesti mencari strategi agar bisa tetap melakukan hilirisasi pengolahan mineral di dalam negeri dengan menghadapi penentangan dari negara yang merasa dihalangi akses bahan bakunya.

Misalnya saja dengan melakukan negosiasi memberikan kompensasi dengan Uni Eropa, agar tidak mempermasalahkan pembatasan ekspor ini. Misalnya saja kompensasi mendapatkan akses untuk mengekspor ke Indoensia lebih besar.

“Namun dalam menegosiasikan dengan Uni Eropa jangan sampai ada yang tahu juga. Nanti negara lain yang punya kepentingan dengan nikel seperti Jepang, bisa ikut-ikutan minta kompensasi atau meributkan hal yang sama,” kata Deny.

Selain itu, opsi yang disampaikan pemerintah bahwa Indonesia akan membuat aturan baru misalnya saja mengenakan pajak ekspor untuk komoditas bijih nikel, bisa menjadi strategi untuk keluar dari vonis pengadilan WTO.

Menurutnya, pajak ekspor bisa menjadi instrumen yang pas untuk dimanfaatkan pemerintah menangani perkara seperti ini. Di dalam aturan WTO, suatu negara boleh menerapkan kebijakan pembatasan ekspor sepanjang memenuhi tujuan tertentu. Salah satunya, tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku dalam negeri.

“Ada yang usul kita melakukan banding saja, kalau buat saya pikirkan kembali. Karena membutuhkan uang lagi. Selain itu kalau kasusnya sama lalu diajukan banding, regulasinya tetap yang itu. Gimana bisa menang? Jadi mendingan ganti regulasinya, tetapi tetap melindungi pasokan nikel mentah dalam negeri,” imbuhnya.

Baca Juga: Ini Alasan Uni Eropa Gugat Indonesia di WTO

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×