kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.946.000   -2.000   -0,10%
  • USD/IDR 16.421   -121,00   -0,73%
  • IDX 7.465   -73,12   -0,97%
  • KOMPAS100 1.049   -9,76   -0,92%
  • LQ45 788   -9,08   -1,14%
  • ISSI 253   -2,74   -1,07%
  • IDX30 412   -0,51   -0,12%
  • IDXHIDIV20 470   2,87   0,61%
  • IDX80 118   -1,14   -0,95%
  • IDXV30 123   0,72   0,59%
  • IDXQ30 131   0,68   0,52%

Putar Suara Alam atau Burung di Restoran Tetap Kena Royalti, Ini Penjelasan LMKN


Senin, 04 Agustus 2025 / 17:51 WIB
Putar Suara Alam atau Burung di Restoran Tetap Kena Royalti, Ini Penjelasan LMKN
ILUSTRASI. Rekaman suara alam atau burung tetap mengandung hak terkait, khususnya milik produser rekaman yang merekam suara tersebut


Sumber: Kompas.com | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, kembali memberikan tanggapan soal kafe atau restoran yang kini menggunakan suara alam atau kicauan burung sebagai cara menghindari pembayaran royalti musik.

Menurut Dharma, pelaku usaha perlu memahami bahwa rekaman suara alam atau burung tetap mengandung hak terkait, khususnya milik produser rekaman yang merekam suara tersebut.

“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,” kata Dharma saat dihubungi Kompas.com via telepon, Senin (4/7/2025).

“Ada hak terkait di situ, ada produser yang merekam,” lanjut Dharma.

Baca Juga: Putar Musik di Ruang Komersial Kena Royalti, Pelaku Usaha Disarankan Buat Kontrak

Dharma juga mengingatkan bahwa restoran yang memutar lagu-lagu internasional pun tetap wajib membayar royalti.

Sebab, LMKN dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) telah menjalin kerja sama dengan pihak luar negeri terkait hal ini.

“Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional. Kita punya kerja sama dengan luar negeri dan kita juga membayar ke sana,” ucap Dharma.

Dharma menegaskan, solusi paling adil dan sesuai hukum adalah dengan membayar royalti.

Ia menyayangkan munculnya narasi bahwa pembayaran royalti dianggap memberatkan pelaku usaha.

“Harus bayar dong, itu ada hak pencipta. Itu Undang-Undang. Bagaimana kita pakai sebagai menu tapi enggak mau bayar? Jangan bangun narasi mau putar rekaman suara burung, suara alam, seolah-olah itu solusi,” ujar Dharma.

Ia juga mengkritik narasi yang seolah-olah kewajiban membayar royalti bertujuan mematikan usaha kecil seperti kafe.

Baca Juga: Menteri Hukum Tegaskan Memutar Lagu di Ruang Komersial Kena Royalti

“Ada narasi yang sengaja dibangun keliru, seakan-akan (kami) mau mematikan kafe. Itu keliru sekali. Karena dia enggak baca aturannya, enggak baca Undang-Undang. Bahkan belum bayar, udah kembangkan narasi seperti itu,” tegas Dharma.

Sebelumnya, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) melaporkan restoran Mie Gacoan di Bali karena dugaan pelanggaran hak cipta.

Akibat laporan tersebut, Direktur PT Mitra Bali Sukses—pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan—I Gusti Ayu Sasih Ira ditetapkan sebagai tersangka.

Ia diduga memutar musik tanpa izin dan tidak membayar royalti sejak tahun 2022.

Tarif royalti musik bagi restoran dan kafe diatur dalam SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu Kategori Restoran.

Berdasarkan aturan tersebut, pelaku usaha wajib membayar Royalti Pencipta: Rp60.000 per kursi per tahun dan Royalti Hak Terkait: Rp60.000 per kursi per tahun.

Selanjutnya: Ini Tiga Sektor Dengan Pertumbuhan Laba Bersih Tinggi

Menarik Dibaca: Jelang Maybank Marathon, Latihan dan Edukasi Wajib Diperhatikan Pelari

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Executive Macro Mastery

[X]
×