kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.009.000   -2.000   -0,10%
  • USD/IDR 16.440   10,00   0,06%
  • IDX 7.802   65,52   0,85%
  • KOMPAS100 1.089   10,48   0,97%
  • LQ45 793   4,55   0,58%
  • ISSI 266   4,02   1,53%
  • IDX30 411   2,13   0,52%
  • IDXHIDIV20 477   2,24   0,47%
  • IDX80 120   1,29   1,08%
  • IDXV30 131   2,92   2,28%
  • IDXQ30 132   0,22   0,17%

Gelombang Demo di Indonesia Dipicu Beban Ekonomi dan Krisis Kepercayaan Publik


Selasa, 02 September 2025 / 12:45 WIB
Gelombang Demo di Indonesia Dipicu Beban Ekonomi dan Krisis Kepercayaan Publik
ILUSTRASI. Pengemudi ojek daring berunjuk rasa di depan gedung DPR Jakarta, Jumat (29/8/2025). Para pengemudi ojek daring berunjuk rasa menuntut keadilan bagi kematian pengemudi ojek daring./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/29/08/2025.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID–JAKARTA. Gelombang demonstrasi yang meluas di berbagai kota belakangan ini, menurut Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, tak bisa dilepaskan dari meningkatnya beban ekonomi masyarakat, terutama terkait pajak.

Deni menilai keresahan publik berakar pada krisis kepercayaan terhadap pemerintah akibat runtuhnya legitimasi fiskal.

Baca Juga: Korban Demonstrasi di Seluruh Daerah Dapat Bantuan Langsung dari Presiden Prabowo

“Rakyat diminta membayar pajak, membayar iuran, dan menerima efisiensi pemerintah. Tapi di sisi lain, pemerintah tampak boros, menambah kementerian, membiarkan rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji pejabat dan anggota DPR,” ujarnya Selasa (2/9/2025).

Kontradiksi ini, menurut Deni, memicu krisis legitimasi fiskal. Pajak, dalam teori ekonomi politik, merupakan kontrak sosial antara warga dan negara: warga bersedia membayar pajak jika negara memberikan pelayanan publik, stabilitas, dan keadilan. Sayangnya, rasa keadilan itu semakin memudar.

Deni juga menyoroti kondisi ekonomi masyarakat yang rentan guncangan. Meski pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5,12% pada Kuartal II, distribusi manfaat timpang dan sebagian besar warga hidup sedikit di atas garis kemiskinan.

Baca Juga: Demo di Sejumlah Kota Jadi Sinyal Pemerintah untuk Ubah Arah Pembangunan

Inflasi pangan tinggi, harga beras mencapai Rp16.000 per kilogram, dan lapangan kerja berkualitas terbatas.

“Normal sektor kita hampir 60 persen menurut BPS, bahkan bisa 80 persen menurut ILO. Pendapatan stagnan, tidak mampu mengimbangi biaya hidup. Kenaikan pajak sedikit saja terasa menyesakkan,” katanya.

Di sisi lain, kebijakan fiskal pemerintah dinilai tidak berpihak. Belanja bantuan dan perlindungan sosial menyusut, sementara publik masih dibebani rencana kenaikan iuran BPJS.

Baca Juga: Gelombang Demonstrasi, CSIS: Cerminkan Krisis Kepercayaan dan Ketimpangan Fiskal

“Ironisnya, arah belanja negara justru tidak adil dan menambah luka. Belanja bantuan serta perlindungan sosial terus mengecil, sementara publik masih dibebani rencana kenaikan iuran BPJS,” pungkasnya.

Selanjutnya: Trump: India Selama Ini Untung Besar dari Perdagangan dengan AS

Menarik Dibaca: Harga Emas Hari Ini Sentuh Rekor Tertinggi Sepanjang Masa

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Powered Scenario Analysis AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004

[X]
×