Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gelombang demonstrasi yang belakangan ini melanda berbagai kota di Indonesia, mulai dari Pati, Bone, Jakarta, hingga Makassar, mencerminkan keresahan sosial-ekonomi yang semakin menguat di masyarakat.
Ribuan orang turun ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil dan kurang sensitif terhadap kondisi rakyat.
Baca Juga: Demo di Sejumlah Kota Jadi Sinyal Pemerintah untuk Ubah Arah Pembangunan
Aksi protes memanas setelah meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, di tengah demonstrasi.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan menilai, demonstrasi ini bukan reaksi sesaat, melainkan akumulasi dari krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
“Akar masalahnya adalah krisis kepercayaan akibat runtuhnya legitimasi fiskal,” ujar Deni dalam diskusi publik, Selasa (2/9/2025).
Menurutnya, masyarakat diminta patuh membayar pajak dan menerima efisiensi anggaran, namun pemerintah justru terlihat boros, misalnya dengan menambah jumlah kementerian dan lembaga, menaikkan gaji pejabat, serta mempertahankan jabatan di BUMN yang dinilai tidak efisien.
Baca Juga: Demo Ganggu Operasional, Bagaimana Prospek Saham Resto?
“Pajak adalah kontrak sosial: warga membayar dengan keyakinan negara akan memberikan pelayanan publik, stabilitas, dan keadilan. Sayangnya, rasa keadilan itu semakin memudar karena kontradiksi kebijakan pemerintah,” tambahnya.
Deni juga menyoroti ketimpangan ekonomi yang masih tinggi. Meski pertumbuhan ekonomi nasional stabil di kisaran 5%, pertumbuhan tersebut bersifat kapital-intensif dan tidak merata.
Gini ratio masih di angka 0,39, menunjukkan ketimpangan yang signifikan. Meskipun tingkat kemiskinan menurun, banyak masyarakat berada di ambang garis kemiskinan.
Kondisi ini membuat warga rentan terhadap gejolak ekonomi, termasuk inflasi pangan. Harga beras, misalnya, saat ini berada di kisaran Rp 14.000–Rp 18.000 per kilogram, berbanding terbalik dengan klaim pemerintah soal peningkatan stok dan produksi.
Baca Juga: Menko Polkam Budi Gunawan Ungkap 4 Arahan Presiden Prabowo Usai Demo
Dari sisi ketenagakerjaan, meski angka pengangguran terlihat rendah, jumlah penganggur sebenarnya meningkat, dan kualitas pekerjaan tidak memadai.
Sebagian besar pekerjaan berada di sektor informal, dengan pendapatan stagnan yang tidak seimbang dengan kenaikan biaya hidup.
Di tengah tekanan tersebut, kebijakan fiskal pemerintah dianggap semakin tidak adil. Anggaran bantuan sosial menyusut, sementara pengeluaran untuk proyek mahal seperti Mercusuar Digital Government (MDG) dan belanja pertahanan meningkat tanpa transparansi memadai.
“Anggaran MBG (Makan Bergizi Gratis) naik dari Rp 107 triliun menjadi Rp 335 triliun, menyerap 44% anggaran pendidikan. Belanja pertahanan dan keamanan mencapai Rp 565 triliun atau 19% APBN,” ungkap Deni.
Ia juga mengkritik rencana kenaikan iuran BPJS, serta melonjaknya gaji dan tunjangan anggota DPR hingga Rp 1,4 miliar per bulan per anggota, jika dihitung seluruh tunjangan dan fasilitas.
Deni menekankan pentingnya akuntabilitas pengeluaran negara, termasuk proyek-proyek bantuan modal untuk koperasi yang manfaat dan pengelolaannya belum jelas.
Baca Juga: Obligasi Tetap Aman, Ekonom Nilai Gejolak Demo Lebih Tekan Pasar Saham
“Permasalahannya adalah bagaimana anggaran dibelanjakan dan bagaimana transparansi serta pertanggungjawabannya,” tegasnya.
Ia memperingatkan, tanpa keadilan fiskal dan arah kebijakan yang lebih pro-rakyat, gelombang demonstrasi ini bisa menjadi sinyal awal ketidakstabilan sosial yang lebih luas di Indonesia.
Selanjutnya: Promo PSM Alfamart Periode 1-7 September 2025, Kahf Diskon hingga Rp 12.400
Menarik Dibaca: Promo PSM Alfamart Periode 1-7 September 2025, Kahf Diskon hingga Rp 12.400
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News