kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Fraksi Partai Gerindra minta kurs rupiah Rp 6.500, mungkinkah?


Rabu, 10 Juli 2019 / 12:54 WIB
Fraksi Partai Gerindra minta kurs rupiah Rp 6.500, mungkinkah?


Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati pembicaraan pendahuluan asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. 

Tahun depan, asumsi nilai tukar rupiah dipatok dalam rentang Rp 14.000-Rp 14.500 per dollar Amerika Serikat (AS). Kendati begitu, Fraksi Partai Gerindra menyatakan keinginan agar pemerintah mampu memperkuat nilai tukar rupiah ke level yang jauh lebih kuat dari itu. 

"Fraksi Partai Gerindra meminta pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS seperti masa kepemimpinan Presiden Habibie, di mana kurs dapat berubah dari Rp 16.600 per satu dollar AS, menjadi Rp 6.500 per satu dollar AS,” ujar Anggota Badan Anggaran DPR Johny Kenedy Aziz saat membacakan paparan, Senin (8/7) lalu.

Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Ahmad Mikail Zaini menilai, permintaan anggota dewan tersebut tidak rasional. Pasalnya kondisi perekonomian saat ini jauh berbeda dengan masa kepemimpinan presiden RI ketiga itu. 

“Waktu itu setelah krisis nilai tukar rupiah memang jatuh drastis dari level Rp 2.000 an ke Rp 16.600, hampir 600%. Jadi, memang wajar kalau setelahnya rupiah kembali lagi menguat karena sudah sangat undervalue,” ujar Mikail, Rabu (10/7). 

Selain itu, pada era Presiden Habibie, pemerintah juga melakukan restrukturisasi utang secara besar-besaran.

Menurut Mikail, itu tidak terlepas juga dari dukungan lembaga kreditor internasional dan perbankan global yang bersedia melakukan penjadwalan ulang dan rationing ulang atas kredit-kredit sindikasi pemerintah Indonesia. Maklum, pada masa itu, Indonesia masih lebih banyak melakukan utang secara bilateral maupun multilateral. 

“Kalau sekarang, utang pemerintah sebagian besar dalam bentuk surat berharga dan diperjualbelikan di pasar obligasi. Kondisinya sangat ditentukan oleh pasar sehingga tidak mungkin bisa seperti dulu dengan mudah melakukan restrukturisasi,” lanjut Mikail. 

Selain itu, penguatan nilai tukar rupiah yang terlalu drastis juga berdampak buruk bagi pasar. Pasalnya, pasar juga tidak menghendaki fluktuasi drastis pada kurs mata uang lantaran menimbulkan risiko dan ketidakpastian yang lebih besar. 

Fluktuasi rupiah yang terlalu tajam bisa menggerus kepercayaan investor pada pasar modal dan keuangan dalam negeri. Akibatnya, investor justru memilih keluar dari pasar dan membuat gejolak yang lebih buruk. 

Di sisi lain, penguatan rupiah yang terlalu tajam juga berbahaya bagi perdagangan internasional Indonesia. “Di tengah tren pelemahan kinerja ekspor nasional saat ini, penguatan nilai tukar rupiah yang tajam justru akan makin membahayakan ekspor karena bakal dianggap terlalu mahal untuk negara-negara lain,” kata Mikail. 

Apalagi, ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas mentah bernilai tambah rendah. Jika rupiah terlalu kuat, harga komoditas mentah tersebut akan menjadi terlalu mahal bagi negara pengimpor. 

Apalagi pada era perang dagang saat ini, Mikail menambahkan, negara-negara di dunia justru tengah berlomba memperlemah mata uangnya. Hal ini agar daya saing perdagangan semakin tinggi. 

China misalnya, yang sempat menggunakan strategi mendevaluasi nilai tukar mata uangnya untuk menghadapi risiko ketegangan dagang. 

“Presiden AS Donald Trump juga mendesak The Fed menurunkan suku bunga, salah satunya agar nilai tukar dollar tidak semakin kuat. Jadi, justru sekarang negara-negara menjaga agar kursnya tidak terlalu kuat,” lanjut dia. 

Mikail memandang, asumsi nilai tukar rupiah yang dirancang pemerintah untuk tahun 2020 sebesar Rp 14.000 - Rp 14.500 per dollar AS cukup rasional. Nilai tersebut masih cukup ideal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga stabilitas pasar modal domestik, menurutnya. 

Yang terpenting, pemerintah fokus memperkuat nilai tukar rupiah secara bertahap dan fundamental. Hal itu hanya bisa dicapai dengan perbaikan struktural pada perekonomian Indonesia. 

“Kembali lagi ke persoalan defisit transaksi berjalan (CAD) kalau mau menguatkan nilai tukar rupiah secara fundamental. Bagaimana kita mampu menarik investasi asing langsung (FDI) berorientasi ekspor, meningkatkan produktivitas industri dan tenaga kerja, dan meningkatkan infrastruktur penunjang ekspor,” tutur Mikail. 

Sepanjang kuartal I-2019, Indonesia masih mencatatkan defisit transaksi berjalan sebesar Rp 7 miliar atau 2,6% terhadap produk domestik bruto (PDB). Meski lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai Rp 9,2 miliar atau 3,6% PDB, namun defisit tersebut lebih besar dibanding periode yang sama di 2018 di mana CAD hanya Rp 5,2 miliar atau 2,01% dari PDB. 

Hari ini, nilai tukar rupiah di pasar spot sempat berada pada level Rp 14.139 per dollar AS atau melemah 0,06% dibandingkan penutupan hari sebelumnya. 

Sementara, Bank Indonesia mencatat kurs tengah rupiah (Jisdor) pada level Rp 14.152 per dollar AS, juga melemah dibandingkan hari sebelumnya yang sebesar Rp 14.129 per dollar AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×