Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi
Selain itu, penguatan nilai tukar rupiah yang terlalu drastis juga berdampak buruk bagi pasar. Pasalnya, pasar juga tidak menghendaki fluktuasi drastis pada kurs mata uang lantaran menimbulkan risiko dan ketidakpastian yang lebih besar.
Fluktuasi rupiah yang terlalu tajam bisa menggerus kepercayaan investor pada pasar modal dan keuangan dalam negeri. Akibatnya, investor justru memilih keluar dari pasar dan membuat gejolak yang lebih buruk.
Di sisi lain, penguatan rupiah yang terlalu tajam juga berbahaya bagi perdagangan internasional Indonesia. “Di tengah tren pelemahan kinerja ekspor nasional saat ini, penguatan nilai tukar rupiah yang tajam justru akan makin membahayakan ekspor karena bakal dianggap terlalu mahal untuk negara-negara lain,” kata Mikail.
Apalagi, ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas mentah bernilai tambah rendah. Jika rupiah terlalu kuat, harga komoditas mentah tersebut akan menjadi terlalu mahal bagi negara pengimpor.
Apalagi pada era perang dagang saat ini, Mikail menambahkan, negara-negara di dunia justru tengah berlomba memperlemah mata uangnya. Hal ini agar daya saing perdagangan semakin tinggi.
China misalnya, yang sempat menggunakan strategi mendevaluasi nilai tukar mata uangnya untuk menghadapi risiko ketegangan dagang.
“Presiden AS Donald Trump juga mendesak The Fed menurunkan suku bunga, salah satunya agar nilai tukar dollar tidak semakin kuat. Jadi, justru sekarang negara-negara menjaga agar kursnya tidak terlalu kuat,” lanjut dia.
Mikail memandang, asumsi nilai tukar rupiah yang dirancang pemerintah untuk tahun 2020 sebesar Rp 14.000 - Rp 14.500 per dollar AS cukup rasional. Nilai tersebut masih cukup ideal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga stabilitas pasar modal domestik, menurutnya.