Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah berjalan enam bulan sejak dilantik pada 20 Oktober 2024. Sejumlah catatan pun mulai bermunculan, terutama di bidang ekonomi.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno meminta, pemerintah mempercepat pembenahan berbagai persoalan yang menghambat dunia usaha.
Baca Juga: Enam Bulan Pemerintahan Prabowo-Gibran, Tekanan Fiskal Meningkat hingga Maraknya PHK
Salah satunya adalah penyederhanaan proses perizinan usaha antara pemerintah pusat dan daerah.
Selain itu, GPEI juga menyoroti maraknya importasi ilegal yang belum terkendali, serta tingginya bunga pinjaman perbankan yang belum kompetitif dibanding negara-negara ASEAN.
“Bunga pinjaman masih tinggi, belum bisa bersaing dengan negara tetangga,” ujar Benny kepada Kontan.co.id, Minggu (20/4).
GPEI juga menyoroti jumlah hari libur nasional yang dinilai terlalu banyak dibandingkan negara ASEAN, serta tingginya biaya logistik yang berdampak pada daya saing produk ekspor.
Baca Juga: Prabowo akan Bentuk Satgas Deregulasi, Mendag Bakal Perbaiki Kebijakan Ekspor-Impor
Celios: Tekanan Fiskal Meningkat, Kinerja Ekonomi Perlu Dibenahi
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, ada sejumlah tantangan besar yang mewarnai awal kepemimpinan Prabowo-Gibran.
Pertama, terjadi penurunan tajam kinerja perpajakan hingga Maret 2025 sebesar 27,8% secara tahunan (YoY).
Penurunan ini disebabkan oleh permasalahan implementasi sistem Coretax, serta turunnya aktivitas usaha dan pendapatan sektor berbasis komoditas.
Kedua, belanja subsidi melonjak menjadi Rp 535,2 triliun hingga Maret 2025. Angka ini jauh lebih besar dibanding awal periode Jokowi-Ma’ruf Amin yang tercatat sebesar Rp 388,6 triliun.
Baca Juga: Prabowo Lantik Gubernur dan Wagub Papua Pegunungan serta Kepulauan Bangka Belitung
Ketiga, penambahan utang pemerintah sejak Prabowo menjabat hingga Maret 2025 telah mencapai Rp 511,3 triliun.
“Kenaikan utang yang cukup pesat menjadi sinyal bahwa tekanan fiskal meningkat signifikan di awal pemerintahan,” kata Bhima.
Keempat, Bhima menyoroti fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor, terutama industri pakaian jadi dan tekstil.
Konflik dagang global dinilai memperburuk keadaan, karena memicu penurunan permintaan ekspor dan naiknya biaya bahan baku.
Kelima, pelemahan kurs rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) juga menjadi indikator memburuknya kepercayaan investor.
Bhima menyebut hal ini dipicu oleh keraguan terhadap pengelolaan fiskal, kondisi ekonomi domestik, hingga isu pembentukan holding Danantara.
Baca Juga: Enam Bulan Pemerintahan Prabowo, Indonesia Hadapi Tantangan Ekonomi yang Kompleks
Keenam, ia menilai lemahnya komunikasi antara Presiden dan para pembantunya dalam sejumlah isu strategis seperti revisi UU TNI, pembentukan Danantara, serta respons terhadap tekanan di pasar modal.
“Tidak terlihat ada sense of crisis dari pemerintah terhadap situasi ekonomi saat ini,” tutup Bhima.
Selanjutnya: Maybank Indonesia Finance (BIIF) Bagikan Dividen Rp 158,24 Miliar
Menarik Dibaca: Panduan Menata Keuangan Setelah Hari Raya Idul Fitri ala Bank Neo
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News