Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sejumlah indikator ekonomi Indonesia terbaru, seperti neraca perdagangan dan indeks PMI Manufaktur Indonesia menunjukkan sinyal bahwa kondisi perekonomian nasional masih rapuh dan belum stabil.
Meski pemerintah menyebut ekonomi mulai pulih, kenyataannya data ekonomi terbaru justru menunjukkan tekanan yang semakin nyata di berbagai sektor.
Misal, menyusutnya surplus neraca perdagangan Indonesia. Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Rizal Taufikurahman mencatat, pada April 2025 surplus neraca perdagangan Indonesia hanya mencapai US$ 160 juta, anjlok dari US$ 4,33 miliar di bulan sebelumnya. Jauh di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan US$ 3,1 miliar.
Lonjakan impor sebesar 21,84% year on year (yoy) atau mencapai US$ 20,59 miliar pada April 2025 menjadi penyebab utama merosotnya surplus perdagangan Indonesia. Sementara ekspor hanya tumbuh 5,76% yoy atau mencapai US$ 20,74 miliar.
“Ketidakseimbangan ini tentu menimbulkan risiko terhadap ketahanan eksternal, khususnya di tengah dinamika global yang masih penuh ketidakpastian,” tutur Rizal kepada Kontan, Senin (2/6).
Baca Juga: Surplus Menyusut, Neraca Perdagangan Indonesia Berpotensi Berbalik Defisit
Data lain, laju inflasi tahunan Mei tercatat sebesar 1,6% year on year, di bawah ekspektasi sebesar 1,9% yoy dan lebih rendah dari bulan sebelumnya 1,95% yoy. Bahkan secara bulanan, terjadi deflasi sebesar 0,37% month to month (mtm), yang menruutnya secara langsung mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat.
Sementara itu, Rizal mencatat inflasi inti (core inflation) tetap di angka 2,4%, menunjukkan bahwa tekanan harga dari sisi permintaan masih relatif lemah.
Lalu, PMI manufaktur Indonesia untuk Mei 2025 tercatat di level 47,4, berada di bawah batas netral sebesar 50, dan lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencapai 46,7.
Menurut Rizal. kondisi tersebut menandakan sektor manufaktur masih berada di zona kontraksi. Ini mempertegas bahwa pelaku usaha masih menahan ekspansi di tengah permintaan yang belum kuat, dan belum optimis terhadap kondisi pasar.
Lebih lanjut, melihat keseluruhan data ekonomi tersebut, Rizal menilai bahwa ekonomi Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang cukup rapuh, dan tidak dalam kondisi prima. “Meski ada titik cerah di sektor ekspor dan pariwisata misalnya, namun lemahnya konsumsi domestik dan tingginya ketergantungan terhadap impor menjadi perhatian serius,” ungkapnya.
Rizal bilang, dalam konteks ini, kebijakan insentif saja tidak cukup. Pemerintah perlu memperkuat strategi pemulihan melalui percepatan belanja negara, dukungan terhadap produksi dalam negeri, serta mendorong konsumsi rumah tangga secara langsung.
“Selain itu, reformasi struktural tetap krusial agar pemulihan ekonomi tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga berkelanjutan,” imbuhnya.
Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia di Mei 2025 Terkontraksi ke Level 47,4
Selanjutnya: Saham Sektor Transportasi dan Logistik Masih Melaju, Simak Rekomendasinya
Menarik Dibaca: Moms Wajib Lakukan 4 Hal Ini Setelah Berhubungan Seks Untuk Kebersihan Vagina Ya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News