kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.969.000   -22.000   -1,10%
  • USD/IDR 16.875   -5,00   -0,03%
  • IDX 6.613   -20,90   -0,32%
  • KOMPAS100 952   -3,65   -0,38%
  • LQ45 742   -2,91   -0,39%
  • ISSI 210   0,12   0,06%
  • IDX30 386   -1,41   -0,36%
  • IDXHIDIV20 465   -1,90   -0,41%
  • IDX80 108   -0,27   -0,25%
  • IDXV30 113   -0,30   -0,26%
  • IDXQ30 127   -0,67   -0,52%

Menakar Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Gempuran Tekanan Global


Kamis, 24 April 2025 / 18:47 WIB
Menakar Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Gempuran Tekanan Global
ILUSTRASI. /pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/27/09/2024. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menyatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih dalam keadaan positif.?


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menyatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih dalam keadaan positif.

Klaim ini disampaikan di tengah situasi global yang semakin meningkat yang diperparah perang dagang yang semakin memanas.

Dalam Konferensi Pers KSSK, Sri Mulyani menegaskan bahwa perekonomian Indonesia masih memiliki peluang kuat untuk tumbuh berkesinambungan, bahkan di tengah ketidakpastian global yang meningkat.

"Ke depan, ekonomi Indonesia akan berpeluang untuk terus tumbuh secara berkesinambungan," ujar Sri Mulyani, Kamis (24/4).

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 diperkirakan akan tetap positif. Hal ini ditopang oleh kuatnya konsumsi rumah tangga, yang didorong oleh berbagai belanja pemerintah seperti pembayaran tunjangan hari raya (THR), bantuan sosial, serta insentif lainnya yang digelontorkan menjelang dan selama periode Idulfitri 1445 H.

Selain itu, keberlanjutan dari proyek-proyek strategis nasional di berbagai wilayah dan meningkatnya konstruksi properti swasta diperkirakan meningkatkan kinerja investasi. 

"Investasi swasta masih baik didukung oleh keyakinan produsen yang terlihat pada aktivitas manufaktur Indonesia yang masih pada zona ekspansif," katanya.

Baca Juga: Ekonomi Lesu, Reformasi Pajak Tak Cukup Angkat Tax Ratio Indonesia

Di sisi lain, investasi non-bangunan tetap menjadi penopang penting, yang tercermin dari naiknya impor barang modal, termasuk alat-alat berat.

Dari sisi perdagangan luar negeri, ekspor Indonesia juga menunjukkan tren positif. Sri Mulyani menyebutkan bahwa ekspor nonmigas meningkat pada Maret 2025, khususnya pada komoditas andalan seperti crude palm oil (CPO), besi dan baja, serta mesin dan peralatan elektrik.

Namun, apakah pernyataan tersebut benar-benar mencerminkan realiatis? Jika ekonomi Indonesia benar-benar dalam kondisi baik, mengapa lembaga internasional justru memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia?

Misalnya saja Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan terbarunya merevisi turun proyeksi pertumbuhan Indonesia dari 5,1% menjadi 4,7% untuk tahun 2025. 

Pada masa pandemi Covid-19 tahun 2020, ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar 2,07%. Namun, setelah itu, pada 2021 pertumbuhan kembali naik menjadi 3,7% dan pada 2022 mencapai 5,3%.

Sayangnya pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5,0% pada 2023-2024.

Ekonom Center of Reform on Economics  (Core) Yusuf Rendy Manilet menegaskan bahwa meskipun sejumlah indikator makroekonomi terlihat stabil, bukan berarti ekonomi nasional bebas dari risiko perlambatan dan kerentanan struktural.

Di satu sisi, inflasi masih terkendali, defisit APBN dijaga di bawah 3%, dan cadangan devisa masih cukup untuk beberapa bulan impor. Namun di sisi lain, berbagai lembaga internasional seperti IMF, belakangan ini justru merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Ini bukan hal yang bisa dianggap remeh dan menandakan bahwa ekonomi kita juga rentan dapat melambat pertumbuhannya," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Kamis (24/4).

Menurutnya, kondisi ekonomi harus dilihat secara lebih menyeluruh.  Yang perlu ditelaah lebih dalam adalah bagaimana daya beli masyarakat, ketahanan sektor informal, hingga dinamika lapangan kerja pasca-pandemi dan di tengah tekanan global. 

Misalnya saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga, dan ketika daya beli masyarakat mulai tergerus oleh inflasi pangan atau suku bunga yang tinggi, hal tersebut memiliki efek domino ke sektor lainnya.

"Daya tahan makroekonomi kita bisa dibilang cukup tapi bukan tanpa risiko," terang Yusuf.

Yusuf menambahkan bahwa saat ini tantangan ekonomi lebih banyak datang dari eksternal, seperti perang tarif, kenaikan suku bunga global, hingga perlambatan ekonomi China. Oleh karena itu, ketahanan ekonomi Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah menjaga kepercayaan investor, stabilitas politik, dan kesinambungan kebijakan.

"Jadi, kalau ditanya apakah ekonomi Indonesia baik-baik saja? Saya cenderung jawab: tidak sepenuhnya. Ada resiliensi, iya, tapi bukan berarti kebal," pungkasnya.

Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin melihat bahwa perekonomian Indonesia memang akan mengalami perlambatan pada tahun ini. Meski begitu, ia menegaskan bahwa perlambatan tersebut tidak berarti akan mengarah pada resesi, apalagi krisis.

"Dugaan saya, ekonomi kita baik-baik saja dalam konteks tidak ada tanda-tanda resesi," kata Wija.

Menurut Wija, daya tahan ekonomi makro Indonesia masih cukup solid meski tantangan global masih membayangi. 

Namun yang terpenting, kata Wija, pemerintah perlu memastikan ketahanan fiskal, efektivitas program pemerintah, serta upaya mendongkrak daya beli dan penciptaan lapangan pekerjaan.

Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengingatkan agar klaim pemerintah terkait kondisi stabil perekonomian nasional dilihat dengan lebih objektif.

Ia menyatakan bahwa meskipun pemerintah melalui Menteri Keuangan menyampaikan bahwa ekonomi Indonesia dalam kondisi stabil, sejumlah indikator makroekonomi menunjukkan adanya potensi tekanan yang perlu diwaspadai.

“Meskipun pemerintah melalui Menteri Keuangan menyatakan bahwa kondisi perekonomian nasional dalam keadaan stabil, pernyataan tersebut perlu dicermati secara lebih objektif dengan mengacu pada indikator makroekonomi yang relevan,” ujar Rizal.

Ia menjelaskan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif, koreksi proyeksi oleh lembaga internasional menunjukkan tekanan terhadap prospek ekspansi ke depan. 

Lebih lanjut, Rizal menyoroti bahwa sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah. Sementara itu, kontribusi investasi produktif dan ekspor manufaktur belum optimal.

"Situasi ini mengindikasikan bahwa klaim “baik-baik saja” berisiko menutupi sejumlah persoalan struktural yang berpotensi melemahkan ketahanan ekonomi jika terjadi guncangan eksternal," katanya.

Rizal juga menyoroti sinyal kewaspadaan dari stabilitas harga dan keseimbangan eksternal. Meskipun inflasi masih dalam sasaran, tekanan dari depresiasi rupiah dan kenaikan harga pangan dinilai bisa memicu inflasi biaya.

Ia juga menyebutkan bahwa defisit transaksi berjalan dapat melebar, dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas dan lemahnya penempatan devisa hasil ekspor.

Menurutnya, dengan mempertimbangkan seluruh faktor tersebut, kondisi makroekonomi Indonesia saat ini tidak bisa disebut aman sepenuhnya sehingga memerlukan respons kebijakan yang objektif, terukur, dan berorientasi pada penguatan fondasi ekonomi jangka menengah dan panjang.

Sebagai bukti, ia mencontohkan beberapa indikator makro yang menunjukkan tekanan nyata, seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 yang diturunkan oleh IMF menjadi di bawah 5%. 

Sementara itu, inflasi berada di kisaran 3,0%–3,2%, namun berisiko naik akibat depresiasi rupiah yang sudah menembus Rp16.000 per dolar AS dan potensi lonjakan harga pangan global. 

Rizal mengatakan bahwa cadangan devisa sebesar US$ 136 miliar relatif aman, tetapi defisit transaksi berjalan (CAD) diperkirakan melebar di atas 1,5% PDB, menandakan kerentanan eksternal yang belum tertangani secara struktural. 

Rizal juga menyoroti stagnasi pengangguran di angka 5,3%, penurunan upah riil di sektor padat karya, serta lemahnya daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga, menurutnya, kini lebih didorong oleh belanja musiman dan bantuan sosial.

Di sisi keuangan, Non-Performing Loan (NPL) perbankan tercatat 2,6% dengan premi risiko SBN 10 tahun yang naik di atas 7%, mengindikasikan kehati-hatian investor terhadap prospek fiskal dan stabilitas makro.

Baca Juga: Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 dalam Bayang-Bayang Ketidakpastian Global

Selanjutnya: Negosiasi Terlalu Lama, Indonesia Depak LG dari Proyek Strategis Baterai Listrik

Menarik Dibaca: Apa Itu Money Parenting? Ini Pentingnya Money Parenting untuk Anak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM) Negotiation Mastery

[X]
×