Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengaku sudah menyelesaikan pemeriksaan kepatuhan pembayaran pajak sektor properti. Bahkan saat ini DJP telah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) terhadap perusahaan properti yang dianggap melanggar pembayaran pajak.
Hanya, Direktur Pelayanan, Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat DJP Kismantoro Petrus (7/11) masih enggan merinci berapa banyak SKP yang sudah dikirimkan kepada wajib pajak perusahaan properti ini, maupun berapa besar nilai kekurangan pembayaran pajak yang ditagihkan kepada mereka.
Sekadar catatan, sebelumnya kantor pajak menyatakan tengah memeriksa sekitar 9.000 perusahaan properti yang diduga melakukan pelanggaran pembayaran pajak. Motifnya: saat bertransaksi mereka hanya membayar pajak berdasarkan acuan nilai jual objek pajak (NJOP), padahal realitas nilai transaksiĀ jauh lebih besar dari NJOP.
Penyidik pajak mengaku kesulitan menelisik satu per satu perusahaan properti ini. Apalagi jumlah pemeriksa pajak sangat terbatas. Karena itu, Kismantoro bilang kantor pajak hanya memfokuskan kepada perusahaan properti skala besar dengan alasan lebih mudah mendeteksinya.
Yang pasti, Kismantoro menyebut salah satu perusahaan properti besar yang ada di Jakarta juga sudah mendapat SKP. Maklum saja penjualan properti di Jakarta khususnya penjualan apartemen memang sangat tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini. Jadi wajar saja jika kantor pajak ingin ikut mencicipi keuntungan para pengembang tersebut.
Atas dugaan itu pajak telah meminta perusahaan properti memperbaiki Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak atau mengajukan ketidakbenaran pengisian SPT. DJP akan menerbitkan SKP apabila ada perbedaan pembayaran pajak. Menurut perkiraan Dirjen Pajak Fuad Rahmany, potensi pajak dari perusahaan properti capai Rp 40 triliun.
Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako setuju bahwa potensi pajak properti di Indonesia sangat besar. Apabila negara lain kenaikan harga properti hanya berkisar 2%. "Di Indonesia bisa sampai 50%," katanya.
Nah lonjakan industri properti ini tidak berbanding lurus kepatuhan membayar pajak. Karena itu kuat dugaan perusahaan properti sengaja memasukkan komponen pembangunan ke biaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News