Reporter: Dadan M. Ramdan, Herry Prasetyo, Umar Idris | Editor: Umar Idris
JAKARTA. Untuk menutup kekurangan setoran pajak yang masih banyak, di sisa waktu yang tinggal enam bulan lagi, Ditjen Pajak punya beberapa banyak senjata yang bakal mereka pakai untuk membidik wajib pajak lama dan baru.
Ditjen Pajak bakal memburu pajak dari perusahaan yang bergerak di sektor properti. Mulai Juli hingga Agustus nanti, lembaga pemerintah pemungut pajak tersebut mulai memeriksa semua perusahaan properti di Indonesia, terutama yang bercokol di kota-kota besar. Ditjen Pajak akan memeriksa perusahaan properti sudah menyandang status sebagai perusahaan kena pajak (PKP), apakah mereka sudah memungut dan menyetorkan pajak dengan benar.
Sekadar informasi, pajak yang berlaku saat ini untuk setiap transaksi jual beli properti adalah bea peralihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar 5% dari nilai jual. Pajak ini dipungut oleh pemerintah daerah. Lalu, pajak penghasilan (PPh) sebesar 5% yang dibayar oleh perusahaan properti dan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% yang menjadi tanggungan konsumen pembeli.
Modus yang paling umum adalah menurunkan nilai jual unit property di akte jual beli agar perusahaan property dan konsumen membayar pajak lebih rendah dari seharusnya. “Namun cara seperti ini terbilang klasik, banyak cara lainnya,” kata seorang pemeriksa pajak pekan lalu kepada KONTAN (11/7).
Ada enam modus operandi perusahaan properti dalam menghindari pajak. Enam poin inilah menjadi focus para pemeriksa pajak untuk menelisik dokumen dan mengecek fisik bangunan di lapangan secara random.
Pertama, menyiasati perbedaan kewajiban pajak dengan memecah unit usaha property berdasarkan fungsi. Contoh, memecah menjadi perusahaan konstruksi dan perusahaan pemasaran.
Kedua, pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) ke negara seharusnya dilakukan pada saat ditandatangani akte jual beli. Tapi, perusahaan properti menghitungnya ketika penyerahan penguasaan fisik, pelunasan pembayaran, atau pengalihan hak sehingga penerimaan PPN tertunda.
Ketiga, melakukan penghindaran pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) melalui: (1) Luas bangunan di Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) berbeda dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan fisik bangunan. 2) Penambahan bangunan di luar spesifikasi awal dengan kontrak terpisah, seperti mengerjakan garasi dan kolam renang berbeda dengan kontraktor rumah. 3) Ada penyatuan unit secara vertikal dan horizontal yang tak dilaporkan. 4) Ada unsur bangunan landed house yang tidak dilaporkan sebagai penghitung komponen luas bangunan.
Keempat, menghindari pajak atas pesanan yang batal dengan dua cara: 1) PPN atas cicilan yang telah dibayar terhadap unit properti yang dibatalkan tak pernah dilaporkan ke Ditjen Pajak. 2) Penghasilan dari penalty fee dan booking fee atas unit yang batal tidak pernah dilaporkan ke Ditjen Pajak.
Kelima, dari cara bayar, pengembang mengaku penjualan dilakukan secara mencicil sehingga pembayaran pajak disesuaikan dengan cicilan. Padahal, konsumen atau bank sudah membayar dengan lunas.
Keenam, cara membangun bangunan yang tidak dilakukan sendiri dibedakan-bedakan, tidak dilakukan secara keseluruhan dalam satu waktu oleh satu kontraktor. Cara ini agar ada perbedaan kewajiban perpajakan.
Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Setyo Maharso mengatakan tidak terlalu mengetahui modus operandi penghindaran pajak di atas marak di kalangan anggotanya. "Kalau di REI itu tidak ada, mungkin yang lain atau pengembang properti yang pribadi," jelas Setyo.
REI menerima rencana Ditjen Pajak melakukan audit pajak properti karena bisa mengoptimalkan pendapatan negara. Selain itu, pendekatan tersebut untuk mendorong perusahaan properti yang menjadi wajib pajak untuk taat membayar pajak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News