Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana penghapusan sekitar 99% tarif impor untuk produk asal Amerika Serikat (AS) oleh Indonesia dalam perundingan Perjanjian Perdagangan Resiprokal (Reciprocal Trade Agreement) dinilai bisa menimbulkan tekanan besar terhadap neraca perdagangan dan APBN Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai kesepakatan ini lebih banyak menguntungkan pihak AS ketimbang Indonesia.
“Ini bukan win-win solution. Tarif 19% atas ekspor Indonesia ke AS, sementara AS mendapat fasilitas 0% jelas merugikan kepentingan Indonesia. Impor produk AS akan membengkak,” kata Bhima kepada Kontan, Rabu (23/7/2025).
Bhima menyebut, beberapa sektor yang diperkirakan akan mengalami lonjakan impor mencakup migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia seperti gandum dan jagung, serta produk farmasi. Tercatat, total impor lima komoditas ini sepanjang 2024 telah mencapai US$5,37 miliar atau setara Rp 87,3 triliun.
“Yang paling rawan adalah pelebaran defisit migas, yang bisa menekan kurs rupiah dan menyebabkan lonjakan subsidi energi pada RAPBN 2026. Pemerintah mengusulkan Rp 203,4 triliun, padahal kemungkinan dibutuhkan Rp 300 triliun–Rp 320 triliun,” ungkap Bhima.
Baca Juga: Trump Patok Tarif 19%, Indonesia Hapus 99% Hambatan Tarif untuk Produk AS
Bhima juga menyoroti potensi kerugian akibat ketergantungan impor minyak dan LPG yang semakin tinggi. Dalam skenario terburuk, Indonesia bisa terikat membeli minyak dari AS dengan harga di atas pasar karena tekanan hasil negosiasi dagang.
“Kalau nanti Indonesia diwajibkan beli minyak atau LPG dari AS dengan harga premium, padahal Pertamina biasa dapat harga lebih murah, ini bisa membebani fiskal. Ini jadi momen penting untuk mempercepat transisi energi dan mengurangi ketergantungan terhadap fosil,” lanjutnya.
Bhima juga mengkhawatirkan dampak kesepakatan terhadap sektor industri dalam negeri, terutama menyusul pernyataan Presiden AS Donald Trump yang berulang kali menuntut akses pasar terhadap tembaga Indonesia. Ia menilai ini bisa mengganggu arah hilirisasi tambang tembaga nasional.
“Permintaan akses ekspor konsentrat tembaga dari AS ini bisa jadi tekanan agar Freeport mendapat perpanjangan izin relaksasi ekspor. Ini berisiko besar bagi strategi hilirisasi kita,” ujarnya.
Di sisi fiskal, Bhima memperkirakan Indonesia akan kehilangan potensi penerimaan bea masuk sebesar Rp7,68 triliun per tahun dari produk-produk asal AS akibat penghapusan tarif.
“Ini tentu akan memperlebar defisit APBN dan membuka ruang penambahan utang baru. Efek domino ini harus diwaspadai,” kata Bhima.
Tak hanya industri, sektor pangan domestik juga disebut bakal terpukul. Dengan tarif 0% atas 99% produk AS, Bhima memperkirakan ekspor kedelai, jagung, hingga susu bubuk dari Negeri Paman Sam akan membanjiri pasar Indonesia dan memukul produsen lokal.
“Produsen pangan lokal bisa kalah bersaing. Peternak susu dan koperasi pengolahan susu akan menjerit karena produk impor lebih murah dan masuk tanpa bea masuk,” ungkapnya.
Sebelumnya, Gedung Putih dalam siaran persnya pada Rabu (23/7) mengumumkan bahwa Indonesia akan menghapus sekitar 99% hambatan tarif atas produk-produk industri dan pertanian asal AS. Sebagai timbal balik, AS akan menurunkan tarif atas produk Indonesia menjadi 19%, sesuai Executive Order 14257 tertanggal 2 April 2025.
Kedua negara juga akan merundingkan aturan asal barang untuk memastikan manfaat dagang benar-benar dinikmati oleh pelaku usaha dari kedua negara.
Baca Juga: Produk AS yang Masuk Indonesia Dipatok Tarif 0%, Ini Kata Menko Airlangga
Namun Bhima menekankan, pemerintah perlu berhati-hati dan meninjau kembali dampak jangka panjang kesepakatan ini.
“Jangan sampai kebijakan ini justru memperburuk posisi perdagangan dan fiskal kita ke depan,” kata Bhima.
Selanjutnya: 5 Superfood Terbaik untuk Tumbuh Kembang Anak Anda, Berikan Rutin Moms
Menarik Dibaca: 5 Superfood Terbaik untuk Tumbuh Kembang Anak Anda, Berikan Rutin Moms
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News