Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat ketimpangan yang diukur dari gini ratio pada September 2017 sebesar 0,391. Angka itu menurun 0,002 poin dibanding Maret 2017 dan turun 0,003 poin dibanding September 2016.
Penurunan tingkat ketimpangan pada September 2017 ini disebabkan oleh kenaikan pengeluaran penduduk lapisan bawah lebih tinggi dibanding penduduk lapisan atas. Persentase pengeluaran kelompok masyarakat 20% berpenghasilan tinggi menurun.
Sementara, persentase pengeluaran kelompok masyarakat 40% terbawah dan 40% menengah meningkat.
Tingkat ketimpangan yang menurun ini terjadi saat ekonomi juga tumbuh tidak melaju terlalu kencang. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia melihat ekonomi Indonesia bakal bertumbuh hingga 5,17% di 2017. Namun, outlook itu berubah menjadi 5,05 %.
Sebaliknya, saat pertumbuhan ekonomi tinggi pada akhir pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, rasio gini malah naik.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, tidak ada cerita bahwa perubahan ketimpangan terjadi secara besar-besaran atau drastis. Namun demikian, secara nasional angka kemiskinan sudah membaik.
"Memang tidak ada cerita, angka kemiskinan dan ketimpangan itu perubahannya besar, yang penting itu berkelanjutan. Itu sebabnya pemerintah susun pemerataan ekonomi yang cukup besar-besaran,” ujar Darmin di kantornya, Rabu (3/1).
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, memang terkesan ada trade off antara mengejar pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan, tetapi kondisi ini diperparah oleh struktur ekonomi yang memang timpang.
Contohnya, ketika commodity boom di tahun 2011, yang paling menikmati kue ekonomi kelompok 20% teratas. Begitu juga ketika di era Jokowi saat harga komoditas sempat anjlok, ketimpangan turun karena pengeluaran kelompok atas yang terimbas.
Oleh karena itu, ia mengatakan, pemerintah jangan terjebak pada pertumbuhan ekonomi yang semu atau bergantung pada ekspor komoditas mentah. “Tanpa hilirisasi industri struktur ekonomi akan rapuh dan makin timpang,” ujarnya.
Darmin mengatakan, meski pemerintah sudah menyusun pemerataan ekonomi, ia tak menampik bahwa realisasinya terlihat pelan.” Banyak yang salah kaprah selama puluhan tahun ini. Bagaimana perbaikinya? Pelan-pelan,” kata Darmin.
Ia menjelaskan, pemerintah saat ini tengah menggenjot ekonomi berbasis produksi rakyat dengan perhutanan sosial yang ada di beberapa lokasi. Adapun pemerintah telah menyelesaikan sertifikasi tanah hampir sesuai dengan targetnya.
“Yang memang belum adalah transmigrasi dan redistribusi lahan yang mau di-enforce ke perkebunan besar terutama kelapa sawit. Dia itu termasuk konsolidasi lahan. Kami percaya itu sudah akan berjalan di 2018. Maka pemerataan dan tingkat kemiskinan akan membaik dan membaik lagi,” jelasnya.
Bhima menyatakan, sudah ada terobosan penting di era Jokowi khususnya reforma agraria dan pembangunan infrastruktur di Indonesia timur.
Ini bisa jadi solusi mereduksi ketimpangan struktural. Oleh karena itu, agar sasaran pembangunan ekonomi tepat, pemerintah perlu fokus ke pembangunan ekonomi berbasis produksi rakyat.
“Misalnya instrumen dana desa lebih didominasi oleh BUMdes, infrastruktur padat karya dan pengelolaan lahan reforma agraria secara berkelanjutan,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News