Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terdepresiasi sebesar 0,23% selama sepekan lalu. Mengutip Bloomberg, Jumat (23/3), nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup melemah 0,2% ke level Rp 13.782 per dollar AS.
Kurs tengah Bank Indonesia (BI) juga mencatat pelemahan ke level Rp 13.780. Dalam sepekan, rupiah melemah 0,11%.
Deputi Gubernur BI Sugeng menyebutkan, BI akan menjaga rupiah di kisaran Rp 13.700.
"Mudah-mudahan ekonomi yang membaik juga bisa bantu penguatan. Kira-kira (BI menjaga) stabil seperti sekarang Rp 13.600-13.700," kata Sugeng di Jakarta, akhir pekan lalu.
Kepala Kajian LPEM FEB UI Febrio N Kacaribu melihat, dalam jangka pendek, BI juga akan mempertahankan Rupiah di bawah 13.800. “Kabar baiknya adalah sejak minggu lalu sampai Kamis kemarin, net capital inflow ke obligasi rupiah mencapai US$ 1,2 milIar. Di sisi lain. memang ada net outflow dari saham sebesar US$ 200 juta,” ujarnya kepada KONTAN, Jumat (23/2).
Sementara itu, Ekonom BCA David Sumual mengatakan, walaupun fundamental ekonomi Indonesia relatif oke, yang menjadi masalah adalah rupiah pasarnya dangkal dengan permintaan seringkali terkonsentrasi di spot.
Oleh karena itu, ia memandang bahwa saat ini posisi BI dilematis. Di satu sisi, harus jaga stabilitas, di sisi lain kelihatan pertumbuhan belum optimal. Maka dari itu, harus cari keseimbangan dan kebijakan lain.
“Dari makroprudensial mungkin bisa dilakukan untuk mendorong pertumbuhan tapi di sisi lain stabilitas harus dijaga karena kalai ini terganggu konsekuensinya berat, ongkosnya berat,” kata David kepada KONTAN.
Ia pun melihat, ke depannya mungkin ada peluang BI melakukan pengetatan karena dikhawatirkan ekspektasi inflasi bisa berubah. “Peluang BI melakukan tightening ini ada karena gejolaknya ini kami khawatir berpengaruh, ekspektasi inflasi bisa berubah.” ucapnya
Negara-negara lain, David menyebut, sudah mulai antisipasi. China misalnya, telah menaikkan suku bunga 25 bps. “Malaysia juga sebelumnya sudah naikkan suku bunga, Singapura telah beri sinyal. Indonesia setidaknya beri sinyal juga, khawatirnya kalau ada shock dan harus menaikkan suku bunga, jauh lebih tinggi risikonya. Lebih berat lagi. Bila ada sinyal, buat investor portofolio bisa ancang-ancang dan tidak khawatir,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News