Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi I DPR RI melakukan pertemuan bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk membahas Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), Selasa (18/3).
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengklaim DPR telah menerima masukan dari para aktivis terkait revisi UU TNI. Menurutnya, kedua belah pihak juga telah mencapai titik temu terkait pembahasan RUU TNI.
"Tadi kita sudah lakukan audiensi dengan teman-teman dari Koalisi Masyarakat Sipil. Pertemuan tadi berjalan dengan hangat, lancar, diskusi, dan dialog yang membangun dan ada kesepahaman dengan kedua belah pihak. Insya Allah saya pikir ada titik temu," ujar Dasco di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (18/3).
Dasco juga menjamin kedepan pembahasan RUU TNI maupun undang-undang lainnya akan dilakukan lebih banyak melibatkan partisipasi publik.
"Kita tidak hanya lakukan kali ini saja, untuk kemudian setiap pembahasan-pembahasan revisi UU dilakukan banyak dialog," kata Dasco.
Baca Juga: TNI Bisa Masuk Jabatan Sipil akan Menghidupkan Kembali Dwifungsi TNI
Diketahui, sejumlah aktivis telah berdatangan ke Gedung DPR, Senayan, Jakarta untuk menyerahkan petisi penolakan Revisi UU (RUU) TNI yang saat ini sedang dalam pembahasan.
Sebelumnya, aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil memang lantang menyuarakan agar RUU TNI dihentikan karena ada beberapa pasal yang dianggap bermasalah.
Mereka menilai proses revisi dinilai kurang melibatkan masyarakat sipil, kampus, dan seluruh elemen masyarakat, serta terkesan buru-buru, elitis, dan sangat eksklusif.
Jika pembahasan dilanjutkan, dikhawatirkan hanya akan mengembalikan dwifungsi TNI yang semakin melanggengkan impunitas TNI. Desakan agar pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan revisi UU TNI pun mengemuka.
Hal itu disampaikan dalam pernyataan bersama bertajuk ”Menolak Kejahatan Legislasi dalam Pembahasan RUU TNI: Inkonstitusional, Melanggar HAM dan Kebebasan Akademik” oleh Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), PSHK Indonesia, dan Serikat Pekerja Kampus (SPK) secara daring, Minggu (16/3).
Pengamat Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai dalam Pasal 30 UUD 1945 menyebutkan TNI yang terdiri Angkatan Udara, Angkatan Laut, Angkatan Darat sebagai alat negara, bukan lembaga negara.
Artinya, TNI yang diposisikan sebagai alat oleh negara karena memang diberi akses khusus terhadap senjata dan alat yang namanya kekerasan dan punya legitimasi untuk melakukan kekerasan dan juga mengakses senjata.
"Tentara, sangat penting bagi sebuah negara, tapi memang dia tidak kompatibel dalam sebuah pemerintahan yang demokratis karena tentara karakternya akan selalu komando pasti top-down, padahal dalam negara demokratis kita inginnya bottom-up,” kata Bivitri.
Baca Juga: Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Bantah Revisi UU TNI Bangkitkan Dwifungsi TNI
Untuk itu, dalam merevisi UU TNI harus melihat urgensi dan kebutuhan TNI itu sendiri. Apalagi, saat ini Indonesia bukan berada dalam wilayah peperangan seperti yang terjadi antara Rusia-Ukraina dan negara-negara lainnya.
Oleh karena itu, jika sekarang ingin mengubah UU TNI, harus dilakukan untuk profesionalisme tentara, terutama dalam konteks peradilan militer
Selanjutnya: Microsoft Temukan Malware Baru yang Mengincar Dompet Kripto di Google Chrome
Menarik Dibaca: Siap-siap Flash Sale Tiket KAI Siang Ini, 2.000 Tiket Dijual Mulai dari Rp 100 Ribu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News