Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Revisi Undang-Undang (RUU) No 34 Tahun 2004 tentang TNI menuai pro kontra.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti beberapa hal krusial salah satunya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif.
"Menempatkan TNI pada jabatan sipil jauh dari tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan sama saja dengan menghidupkan kembali Dwifungsi TNI yang sudah lama dihapus," jelas Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangan resminya, Kamis (13/3).
Menurutnya hal itu menjadi isu kontroversial karena hal ini dapat mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil.
Diketahui, perluasan jabatan prajurit TNI tertuang dalam perubahan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI yang mengusulkan penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”.
Baca Juga: Soal Batas Usia Pensiun TNI, Panglima Soroti Kesiapan Tempur dan Regenerasi
Koalisi Masyarakat Sipil meilai penambahan frasa tersebut sangat berbahaya karena memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, yang sebelumnya dibatasi hanya pada 10 kementerian dan lembaga sebagaimana diatur dalam UU TNI.
Dengan adanya frasa ini, peluang interpretasi yang lebih longgar terbuka, sehingga memungkinkan penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian atau lembaga lain di luar yang telah diatur sebelumnya.
"Hal ini berisiko mengikis prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan dan dapat mengarah pada dominasi militer dalam ranah birokrasi sipil," pungkasnya.
Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan bukan hanya salah, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri.
Menurutnya, profesionalisme TNI dapat terwujud menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan dalam jabatan sipil yang sangat jauh dari kompetensinya.
Koalisi Masyrakat Sipil berpendapat penempatan TNI di luar fungsinya juga akan berdampak pada rancunya kewenangan/yurisdiksi prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana termasuk pelanggaran HAM – apakah diadili di peradilan umum atau di peradilan militer.
Apalagi, sampai saat ini Pemerintah dan DPR enggan melakukan revisi terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan Militer. Berdasarkan UU tersebut, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik militer maupun umum, diadili di peradilan militer.
Ketentuan itu menimbulkan persoalan ketika prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, karena jika mereka terlibat dalam tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pejabat sipil, mereka tetap diadili di peradilan militer, bukan di peradilan umum sebagaimana berlaku bagi pejabat sipil lainnya.
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Revisi UU TNI Kembali Hidupkan Dwifungsi TNI
Masyarakat Koalisi Sipil khawatir hal ini menghambat proses penegakan hukum karena peradilan militer memiliki karakteristik yang berbeda dengan peradilan umum, terutama dalam aspek independensi, transparansi, serta akuntabilitas bagi masyarakat dan media untuk mengawasi jalannya persidangan.
Lebih dari itu, menurutnya perubahan Pasal 47 ini nantinya akan semakin merusak pola organisasi dan jenjang karir ASN karena akan semakin memberikan ruang lebih luas bagi TNI untuk masuk ke semua jabatan sipil yang tersedia.
Mengutip data The Indoneisian Human Right Monitor (Imparsial) terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada tahun 2023. Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI.
Data ini menimbulkan polemik lantaran penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait.
"Hal itu mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karis ASN yang seharusnya diatur ajeg dan berjenjang," jelasnya.
Baca Juga: Panglima TNI Pastikan Revisi UU TNI Tak Mengubah Prinsip Supremasi Sipil
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News