kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.886.000   2.000   0,11%
  • USD/IDR 16.555   -55,00   -0,33%
  • IDX 6.980   147,08   2,15%
  • KOMPAS100 1.012   25,10   2,54%
  • LQ45 787   21,71   2,84%
  • ISSI 220   2,17   0,99%
  • IDX30 409   11,84   2,98%
  • IDXHIDIV20 482   15,28   3,27%
  • IDX80 114   2,54   2,27%
  • IDXV30 116   2,05   1,79%
  • IDXQ30 133   4,16   3,22%

Berapa Potensi Pajak dari Underground Economy?


Kamis, 31 Oktober 2024 / 19:33 WIB
Berapa Potensi Pajak dari Underground Economy?
ILUSTRASI. Ekonomi bawah tanah atau underground economy atau ekonomi disebut-sebut bisa menjadi sumber potensial untuk penerimaan pajak.


Reporter: Shifa Nur Fadila | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi bawah tanah atau underground economy atau ekonomi disebut-sebut bisa menjadi sumber potensial untuk penerimaan pajak.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, upaya menjadikan underground economy sebagai sumber penerimaan pajak merupakan ide yang bagus. Hal ini merupakan low hanging fruit alias buah yang mudak dipetik bagi upaya pemerintah menaikkan rasio pajak. 

Hitungan Wijayanto, aktivitas ekonomi bawah tanah itu setara 15%-20% produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

"Dengan asumsi 15% saja dari PDB, nilainya mencapai sekitar Rp 3.600 trilliun. Lalu, dengan asumsi tax ratio 10,4%, maka potensi penerimaan pajak bisa mencapai Rp 375 trilliun," kata Wijayanto kepada Kontan, Kamis (31/10).

Baca Juga: Menakar Peluang Pajak dari Underground Economy

Wijayanto menjelaskan, underground economy adalah aktivitas ekonomi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena aktifitas tersebut dilarang hukum. Atau aktivitas ekonomi tersebut tidak dilarang secara hukum tetapi pelaku ingin menghindari pajak.

Ekonomi bawah tanah ini ada di semua negara, dengan proporsi hingga 60% PDB di negara yang penegakan hukumnya buruk seperti Bolivia, Zimbabwe dan Georgia.

Namun, hanya mencapai 6%-8% di negara-negara dengan penegakan hukum yang kuat seperti Amerika Serikat (AS) atau Swiss. "Di Indonesia, angkanya sekitar 10%-12%, tetapi saya rasa jauh lebih besar dari itu, bisa 15%-20% dari PDB," kata Wijayanto.

Menurut Wijayanto, area yang masuk dalam kategori itu di Indonesia, misalnya penangkapan ikan illegal, tambang illegal, bisnis miras illegal, hiburan malam illegal, dan cukai rokok palsu atau rokok tanpa cukai. Dari cukai rokok palsu atau rokok tanpa cukai saja, pemerintah bisa mendapatkan puluhan triliun tambahan penerimaan.

"Ini the lowest hanging fruit yang perlu jadi fokus pemerintah jika ingin quick win," ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×