Reporter: Rashif Usman | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dua pekan terakhir publik ramai-ramai mengkritik kinerja Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) karena dianggap menyulitkan masyarakat yang bepergian keluar-masuk negara.
Prosedur ekspor-impor serta aturan mengenai barang bawaan, barang kiriman, atau barang hibah turut mendapat sorotan tajam setelah tiga kasus terkait Bea Cukai viral. "Otoritas kepabeanan bak berada di kursi pesakitan," kata Kepala Riset CITA, Fajry Akbar, dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (8/5).
Fajry mengatakan, sorotan tajam tersebut dimulai dari kasus penerapan denda yang lebih besar dari nilai barang dalam kasus sepatu impor.
Kemudian, terjadinya keterlambatan penerimaan dan kerusakan sebuah mainan action figure milik influencer Medy Renaldy, serta alat bantu belajar tunanetra berstatus hibah untuk SLB-A Tingkat Nasional yang tertahan selama dua tahun di Bea Cukai.
Baca Juga: Setoran Cukai Minuman Beralkohol Capai Rp 1,72 Triliun Hingga Kuartal I-2024
Menurutnya, beragam isu ini memicu tumbuhnya sentimen negatif yang lebih besar terhadap Bea Cukai. Padahal citra otoritas kepabeanan belum sepenuhnya pulih setelah Eko Darmanto (ED) dan Andhi Pramono (AP) ditahan dalam perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Kami melihat kritik publik terhadap otoritas kepabeanan sebagian besar dapat diterima. Kritik diperlukan untuk membangun birokrasi yang lebih baik. Namun, kritik publik juga harus proporsional," ucapnya.
Ia menilai, otoritas kepabeanan memiliki peran besar dalam ekonomi terkait arus barang antar yurisdiksi. Oleh karenanya, terlalu besar untuk dibekukan atau bahkan dibubarkan. "Publik salah jika melihat otoritas kepabeanan hanya sebagai revenue collector yakni mengoptimalkan penerimaan negara," terangnya.
Bagi Fajry, ada tiga fungsi utama lain otoritas kepabeanan. Pertama, sebagai trade facilitator yang ditujukan untuk menekan biaya tinggi (high cost) dari perdagangan internasional sehingga punya daya saing ekonomi.
Baca Juga: Dirjen Bea Cukai Minta Perusahaan Jasa Titipan Perkuat Perjanjian Tingkat Layanan
Kedua, sebagai industrial assistance, yaitu berupa dukungan bagi industri dalam negeri agar dapat bersaing di pasar internasional. Contohnya kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), yang membebaskan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) bagi usaha yang berbasiskan ekspor.
Ketiga, sebagai community protector, yakni memberikan perlindungan masyarakat terhadap barang-barang yang dilarang seperti narkoba. Semenjak era perdagangan bebas, penerimaan kepabeanan tidak lagi menjadi sumber penerimaan utama dari DJBC.
Apabila merujuk pada APBN 2024, kontribusi penerimaan kepabeanan dalam perpajakan hanya 3,24%. Bagi DJBC sendiri, kontribusi penerimaan kepabeanan hanya 23,34% sedangkan sisanya penerimaan cukai.
Baca Juga: Ekspor Batik Aromaterapi Tingkatkan Kesejahteraan Perajin Perempuan Madura
Masalah utama dalam keriuhan beberapa minggu terakhir adalah kepercayaan publik. Kemenkeu perlu sadar jika membangun kepercayaan publik tidak seperti membalikkan telapak tangan.
"Betul, dalam hukum terdapat adagium Ignorantia juris non excusat yang artinya ketidaktahuan akan hukum tidak membenarkan siapa pun. Namun otoritas wajib melakukan sosialisasi," terangnya.
Saran Perbaikan
Fajry mengungkapkan, para petugas di lapangan perlu memberikan informasi yang lengkap mengetahui ketentuan yang berlaku. Perlu proaktif dalam memberikan informasi terkait persyaratan.
Intinya, perlu perbaikan dalam memberikan pelayanan, terutama perlu lebih informatif. Apalagi akan banyak masyarakat umum yang melakukan impor barang kiriman sebagai dampak dari digitalisasi.
Selain itu, diperlukan kemudahan regulasi terutama yang mengatur terkait persyaratan. Salah satu kasus yang ramai di publik terkait persyaratan fasilitas.
Begitu pula dengan ketentuan terkait larangan terbatas (Lartas). Kemudian, Bea Cukai juga perlu melakukan benchmarking best practice.
Baca Juga: Sri Mulyani Terbitkan Aturan Penyelesaian Barang Cukai yang Dirampas untuk Negara
Terkait sanksi, perlu mengubah paradigma bahwa sanksi yang besar akan membuat orang patuh. Bea Cukai mengevaluasi tarif terkait pajak dalam rangka Impor (PDRI) terutama besaran tarif PPh 22 Impor yang naik drastis dalam satu dekade terakhir serta tarif bea masuk atas beberapa produk yang naik dalam beberapa waktu terakhir.
Terakhir, pentingnya koordinasi antar Kementerian dan Lembaga. Ketentuan barang kiriman tidak hanya menjadi ranah dari otoritas kepabeanan namun juga Kementerian dan Lembaga (K/L) seperti Kementerian Perdagangan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) RI.
"Untuk itu, dalam evaluasi regulasi perlu melibatkan K/L Lainnya serta dalam melakukan sosialisasi. Agar tidak semua beban sosialisasi menjadi beban dari otoritas kepabeanan terlebih bukan kebijakan Kemenkeu," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News