Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
Oleh karenanya, otoritas pajak hanya diperkenankan melakukan koreksi selama harga atau laba atas transaksi tersebut tidak wajar. Hal ini dapat diuji melalui penerapan prinsip kewajaran arm’s length principle (ALP).
Namun demikian, Bawono mengatakan tidak dapat dipungkiri bahwa skema manipulasi transfer pricing perlu untuk menjadi perhatian otoritas pajak. Menurut studi yang dilakukan oleh Tax Justice Network tahun 2020, setiap tahunnya Indonesia berpotensi mengalami revenue forgone sebesar US$ 48 miliar.
Menariknya, skema manipulasi transfer pricing merupakan skema yg relatif dominan dalam modus penghindaran pajak.
Kata Bawono dalam konteks pandemi saat ini, salah satu strategi optimalisasi penerimaan pajak yang tepat ialah dengan mengurangi tax gap dan tanpa mendistorsi ekonomi terlalu dalam. Dengan demikian, upaya mengurangi tax gap dengan fokus pada manipulasi transfer pricing adalah sesuatu yang relevan.
Kendati begitu upaya menentukan nilai yang dianggap wajar menjadi sarat perdebatan dan menimbulkan sengketa karena bersifat arbitrary.
Baca Juga: Sri Mulyani: Belanja modal Februari 2021 naik 253%
“Dengan demikian, implementasi ALP juga perlu dilakukan secara hati-hati dan membutuhkan pemahaman bisnis yang mendalam,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Kamis (25/3)
Hanya saja, Bawono mengatakan tantangan dalam implementasi ALP juga kian meningkat dalam konteks pandemi. Khususnya dalam menemukan pembanding transaksi yang andal untuk menguji kewajaran transaksi antar afiliasi.
“Dalam menciptakan kepastian, OECD telah merilis panduan atas implikasi Covid-19 terhadap transfer pricing dan solusi praktis dalam menghadapinya. Panduan tersebut seyogyanya dipertimbangkan oleh otoritas pajak dalam mengevaluasi transfer pricing wajib pajak,” ujar Bawono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News