Reporter: Dina Farisah | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Para buruh merasa belum mendapatkan kesejahteraan yang mereka impikan. Momentum 14 tahun reformasi dimanfaatkan buruh dengan unjuk rasa menyuarakan nasibnya yang masih terabaikan.
Juru Bicara Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh se-Jabodetabek Adi Wibowo mengatakan, reformasi belum mencerminkan perubahan revolusioner. Kaum buruh masih merasakan ketidakpastian kerja melalui murahnya upah kerja dan sistem kerja outsourcing. Mereka mengaku tidak nyaman sejak diberlakukannya Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang menyertakan sistem kerja kontrak.
"Upah murah, sementara biaya hidup mahal. Itu semua perangkat dari rezim Orde Baru yang berpihak kepada pemilik modal, kapitalisme," jelas Adi, Senin (21/5).
Menurutnya, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 tahun 2005 sebagai dasar perhitungan upah minimum tidak sesuai karena hanya mengukur kebutuhan hidup buruh hingga dapat bekerja lagi keesokan harinya.
Dijelaskan Adi, pasca 14 tahun reformasi, belum ada perubahan signifikan. Pihaknya tidak melihat adanya perbedaan rezim pemerintahan pada saat Orde Baru dan pasca Orde Baru. Rezim tersebut masih sarat dengan kepemimpinan diktator. Ditambah lagi, buruh merasa hak berorganisasi dan menyampaikan pendapat dirampas.
"Kita menyoroti hak demokratisasi, dalam hal ini hak pendirian organisasi. Namun yang terjadi adalah pengurus organisasi buruh di-PHK dan diskorsing dengan alasan tidak jelas," ungkapnya di depan Gedung DPR.
Lebih jauh lagi, lanjutnya, negara telah merampas tanah, baik tanah hutan dan tanah Hak Guna Umum (HGU) milik kaum tani dengan kedok hukum. Tanah hutan direbut menggunakan dasar Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Sementara tanah HGU direbut menggunakan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
"Kaum tani dan rakyat diusir dari tempat hidup. Ditambah, sebentar lagi akan ada kedok tanah untuk pembangunan lewat Undang-Undang Pengadaan Tanah yang baru saja dikeluarkan," tuturnya.
Aksi unjuk rasa ini dilakukan bertepatan dengan jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Puluhan buruh yang mengenakan kaos berwarna merah beramai-ramai meneriakkan aspirasi mereka. Dengan membawa spanduk besar bertuliskan "Jadikan 20 Mei Sebagai Hari Kebangkitan Nasional Melawan Kapitalisme dan Imperialisme", para buruh menuntut perhatian pemerintah atas kesejahteraan mereka.
"Persoalannya bukan hanya orang dan sosok pemimpin. Yang penting, diperlukan perbaikan tatanan pemerintahan," ujar salah satu orator.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News