Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) diyakini dapat menggenjot penerimaan pajak baik bari sisi pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN). Cara itu bisa menjadi solusi pemerintah untuk memperkecil defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke depan.
Teranyar World Bank dalam laporannya yang berjudul Global Economics Prospect edisi Juni 2021 lagi-lagi mengimbau agar pemerintah Indonesia menurunkan threshold PKP dari yang saat ini berlaku Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 600 juta per tahun.
Dengan demikian, semakin banyak Wajib Pajak (WP) yang membayar pajak penghasilan (PPh) Badan, sehingga mengurangi pembayaran PPh Final oleh beberapa korporasi.
Baca Juga: Rencana kebijakan PPN bisa hambat aliran dana investor
Adapun tarif PPh Badan saat ini sebesar 22% dan tahun depan turun menjadi 20%. Sementara tarif PPh Final untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebesar 0,5%. Dalam hal ini UMKM dikenakan tarif PPh Final karena penghasilan per tahun di bawah Rp 4,8 miliar per tahun.
Setali tiga uang, pungutan PPN juga makin banyak yang dipungut dan disetor ke negara seiring bertambahnya basis PKP tersebut. World Bank menilai cara tersebut bakal ampuh menggenjot penerimaan, sebab selama ini tingginya batas PKP membuat pajak kurang optimal.
“Sehingga mengindikasikan tax multiplier di Indonesia masih rendah. Dengan penurunan threshold tersebut, menunjukkan reformasi dari sisi penerimaan dan belanja akan berdampak positif terhadap perekonomian dibandingkan dengan sekadar memangkas belanja," tulis World Bank dalam laporannya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor mengatakan hal tersebut masih dikaji oleh pemerintah hingga saat ini. Katanya, tidak menutup kemungkinan substansi penurunan threshold PKP akan jadi pembahasan dalam perubahan kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan.
“Kita tunggu pembahasan revisi UU KUP-nya bersama dengan DPR RI, bisa jadi itu menjadi bagian yang akan dilakukan penyesuaiannya,” kata Neilmaldrin kepada Kontan.co.id, Jumat (18/6).
Sebagai informasi, jika tidak ada aral melintang perubahan UU KUP tersebut akan segera dibahas oleh pemerintah bersama dengan DPR RI di tahun ini. Sebab, rancangan beleid tersebut sudah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.
Di sisi lain, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menganggap penurunan ambang batas PKP sangat tepat dilakukan oleh pemerintah Indonesia, untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Sebab, pada defisit APBN pada 2023 harus di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Menurut Fajry, ambang batas PKP di Indonesia sudah terlalu tinggi bahkan untuk negara ASEAN, kecuali Singapura. Dus, potential loss penerimaan negara dari ambang PKP yang terlalu tinggi sudah terlalu besar. Tahun 2019, pemerintah mencatat ada potensi penerimaan PPN yang hilang sebesar Rp 42 triliun akibat ambang batas PKP.
“Justru, berdasarkan banyak studi, penurunan ambang batas ini malah meningkat produktivitas perusahaan. Selain itu, persaingan usaha menjadi lebih sehat. Ini menguntungkan perusahaan maupun konsumen,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Minggu (20/6).
Sebab menurut Fajry selama ini, banyak perusahaan yang menghindar untuk menjadi PKP dengan menahan omzet usahanya dalam setahun. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah WP yang berada tepat di bawah ambang batas PKP.
Namun, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani menilai sebaliknya. Ia yakin penurunan PKP akan memberatkan pengusaha di level UMKM.
“Karena berarti harga jual barang dan jasanya menjadi lebih tinggi, dan ujungnya memberatkan konsumen akhir, karena merekalah pada hakikatnya yang dikenakan PPN,” kata Ajib kepada Kontan.co.id, Minggu (20/6).
Hitungan Ajib, apabila threshold PKP menjadi Rp 600 juta per tahun maka, omzet sebulan Rp 50 juta, atau sekitar Rp 2 juta per hari. Artinya akan banyak pelaku UMKM yang masuk kriteria ini seperti pedagang-pedagang kecil di pasar contohnya.
“Kalau pun berubah, bukannya diturunkan, lebih baik dinaikkan, ini akan menjadi keberpihakan pemerintah untuk ekonomi bawah, dalam rangka pemulihan ekonomi nasional tentunya,” kata dia.
Selanjutnya: Barang tegahan Bea Cukai hanya dilelang melalui Ditjen Kekayaan Negara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News