kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.705.000   1.000   0,06%
  • USD/IDR 16.290   30,00   0,18%
  • IDX 6.750   -53,40   -0,78%
  • KOMPAS100 997   -8,64   -0,86%
  • LQ45 770   -6,78   -0,87%
  • ISSI 211   -0,72   -0,34%
  • IDX30 399   -2,48   -0,62%
  • IDXHIDIV20 482   -1,69   -0,35%
  • IDX80 113   -1,02   -0,90%
  • IDXV30 119   -0,06   -0,05%
  • IDXQ30 131   -0,75   -0,57%

Trump Siapkan Tarif Balas Atas Pajak Digital, Indonesia Perlu Waspada


Senin, 24 Februari 2025 / 19:00 WIB
Trump Siapkan Tarif Balas Atas Pajak Digital, Indonesia Perlu Waspada
ILUSTRASI. Presiden AS Donald Trump telah menandatangani kebijakan baru untuk melindungi perusahaan teknologi AS dari pajak asing yang dianggap tidak adil.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menandatangani kebijakan baru untuk melindungi perusahaan teknologi Amerika Serikat (AS) dari pajak dan aturan asing yang dianggap tidak adil.

Pemerintah Trump berencana mengambil langkah tegas, seperti memberlakukan tarif untuk melawan pajak layanan digital (digital services tax/DST) dan kebijakan lain yang merugikan perusahaan AS, seperti Google, Amazon dan lainnya.

Pajak ini memungkinkan negara asing menarik pajak dari perusahaan teknologi Amerika hanya karena mereka beroperasi di negara tersebut, meskipun tidak memiliki kantor fisik di sana.

Baca Juga: Trump Tolak Kesepakatan Pajak Global, RI Makin Sulit Pajaki Perusahaan Digital AS

"Presiden Trump tidak akan mengizinkan pemerintah asing mengambil alih basis pajak Amerika untuk keuntungan mereka sendiri," tulis pernyataan resmi Gedung Putih (White House), dikutip Senin (24/2).

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyatakan bahwa pajak digital yang dimaksud oleh Trump kemungkinan mengarah pada skema Pilar I secara multilateral atau Digital Service Tax (DST) secara unilateral.

Namun, Fajry menegaskan bahwa Trump sejak masa kepemimpinannya telah berulang kali mengancam negara-negara yang mengimplementasikan DST dengan perang dagang. Ancaman tersebut, menurutnya, bukan sekadar gertakan kosong. 

“Ancaman tersebut bukanlah ancaman kosong, benar-benar akan melakukan retaliasi. Saya masih ingat sekali, saat itu Menteri Keuangannya Steven Mnuchin yang sempat ke Bali," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (24/2).

Dalam konteks Indonesia, Fajry mengungkapkan bahwa pemerintah memang belum berencana menerapkan Pilar I dan masih menunggu perkembangan di Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Berkaca dari penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), Fajry memperkirakan penerimaan dari perusahaan AS tidak terlalu besar.

Baca Juga: Penerimaan Dari Ekonomi Digital Sudah Terkumpul Rp 32,32 Triliun Sejak 2020

Sementara itu, AS merupakan pasar ekspor non-migas terbesar bagi Indonesia setelah China.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Fajry menyarankan agar Indonesia tidak gegabah dalam mengambil keputusan terkait pajak digital. 

"Jadi, potensi penerimaannya tidak seberapa tapi risikonya cukup besar. Menurut saya lebih baik main aman saja," katanya.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa Pilar Satu Perpajakan Global berupa Unified Approach kemungkinan besar tidak akan dapat diselesaikan.

Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk dinamika geopolitik global dan perubahan dalam pemerintahan beberapa negara.

Direktur Perpajakan Internasional DJP Kemenkeu, Mekar Satria Utama menyebutkan bahwa pembahasan mengenai Pilar Satu, yang mencakup diskusi mengenai inclusive framework serta mekanisme pembagian hak pemajakan berlangsung dengan cukup seru dan menarik.

Namun, dengan kondisi geopolitik yang tidak menentu, terutama di Amerika Serikat (AS), upaya untuk mencapai kesepakatan dalam implementasi Pilar Satu menjadi semakin sulit.

"Dengan kondisi geopolitik yang sekarang, dengan berbagai macam perubahan di dalam pemerintahan, termasuk di Amerika Serikat (AS)terutama, kemungkinan Pilar Satu ini akan berhenti tanpa ada keputusan," ujar Mekar dalam Webinar Bijak yang diselenggarakan MUC Consulting, Senin (17/2).

Ia menambahkan, meskipun draft Multilateral Convention (MLC) telah disusun, implementasi Pilar Satu masih bergantung pada penandatanganan dan komitmen dari beberapa negara. 

Pasalnya, tanpa partisipasi negara-negara tersebut, kecil kemungkinan Pilar Satu dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Adapun, saat ini Indonesia masih menunggu perkembangan dari pembahasan Pilar Satu.

"Untuk Pilar Satu kemungkinan kita akan masih menunggu, walaupun kecil sekali kemungkinannya ini akan bisa berjalan sesuai dengan yang kita harapkan," katanya.

Selanjutnya: Indeks Tertekan Sepekan Terakhir, Bagaimana Prospek Dolar AS?

Menarik Dibaca: Cuaca Besok di Jogja dan Sekitarnya, Kompak Hujan Mulai Siang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Mastering Finance for Non Finance Entering the Realm of Private Equity

[X]
×