Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Program amnesti pajak akan selesai pada 31 Maret 2017. Salah satu rencana pemerintah guna mengoptimalkan pendapatan pajak pasca program tax amnesty adalah dengan mengamankan potensi pajak dari manipulasi transfer pricing.
Selama ini, adanya entitas perusahaan dalam grup yang beroperasi di negara yang berbeda-beda kerap menjadi permainan perusahaan memanfaatkan perbedaan sistem pajak. Praktik inilah yang disebut transfer pricing agar perusahaan membayar pajak lebih kecil dibandingkan ketentuan sebenarnya.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, praktik ini merugikan negara karena menggerus basis penerimaan pajak penghasilan badan. Padahal, 20% hingga 30% pendapatan pajak di banyak negara berasal dari aktivitas perusahaan multinasional tersebut.
Menurut Mardiasmo, manipulasi ini memberikan dampak yang besar khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, hal ini bisa dijadikan alternatif pasca amnesti pajak. Apalagi, pemerintah telah merilis PMK 213 pada Desember 2016 lalu yang mengatur transfer pricing documentation.
“Sangat tepat momentumnya karena kita sudah tiga bulan lagi mengakhiri amnesti pajak. Nanti setelah itu kami akan punya gebrakan-gebrakan baru,” ucapnya di Gedung Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Februari, Kamis (2/2).
Mardiasmo mengatakan, sesungguhnya secara teori, transfer pricing itu boleh dilakukan. “Secara teori ya. Tapi kadang-kadang disalahgunakan,” ujarnya.
Menurutnya, terbitnya PMK 213 ini bisa memberikan jalan keluar bagi penyalahgunaan kegiatan transfer pricing. Penyalahgunaan ini berdampak negatif secara luas sehingga bila ada motif untuk mengurangi laba dengan cara-cara yang tidak benar maka harus berikan sanksi.
“Kalau uang negara bisa masuk dari sana, untuk memperbaiki kesenjangan, infrastruktur, kan bagus sekali. Jadi public fund ini harus benar,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News