Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada Juli 2017, Kementerian Kesehatan, KPK dan BPJS telah membentuk satuan tim penanganan kecurangan dalam program jaminan kesehatan Nasional (JKN).
Menurut Direktur Utama BPJS Fachmi Idris masa pembuatan pedoman telah usai, dan dalam waktu dekat akan memasuki fase penindakan.
Menurut Fachmi, penindakan pada kasus kecurangan JKN akan fokus pada dua hal. Pertama, phantom billing yakni penagihan akan sesuatu yang tidak ada tindakannya. Kedua, phantom procedure atau melebihkan laporan tindakan.
"Keduanya termasuk dalam tindakan pidana," kata Fachmi kepada Kontan.co.id, Rabu (14/3). Ia melanjutkan, penindakan akan dimulai pada tahun 2018 tanpa membeberkan detail lebih.
Asal tahu, pencegahan tindakan curang dalam JKN diatur pada Permenkes No. 36/ 2015 mengenai Tim Pencegahan
Kecurangan JKN yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan, Dinkes Kabupaten/ Kota, maupun oleh internal institusi (FKRTL). Ditambah dengan kesepahaman dari HK. 03.01/MENKES/347/2017, KPK menjadi bagian dari tim tersebut.
Mengenai jenis kecurangan pada JKN secara general, Ketua Umum Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI) Taufik Hidayat menjelaskan bahwa skema kecurangan datang setidaknya dari tiga pihak.
Pertama, dari peserta yang kerap menukar kartu BPJS dengan peserta lain. Kedua, provider yang berbohong mengenai lingkup fasilitasi BPJS, dan ketiga dari personal BPJS yang melakukan kerjasama dengan klinik.
"Misal, agar satu klinik dapat kapitasi banyak, maka dipindahkan pesertanya ke sana, itu juga potensi fraud," jelas Taufik.
Mengenai besaran kerugian dari tindakan fraud ini, Taufik mengaku belum memiliki data lengkap versi Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News