kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tiga alasan mengapa golput pemilu 2014 turun


Selasa, 13 Mei 2014 / 18:11 WIB
Tiga alasan mengapa golput pemilu 2014 turun
ILUSTRASI. Video teaser Loki season 2 dibintangi Tom Hiddleston dan Secret Invasion dibintangi Samuel L. Jackson, serial terbaru Marvel yang akan tayang di Disney+.


Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris

Pengantar

Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN, Selasa, 13 Mei 2014. Redaksi menurunkan artikel ini di Kontan.co.id untuk menjangkau pembaca yang lebih luas lagi. Selamat membaca.

Tiga Faktor Golput Pemilu 2014 Turun

Oleh Agus Riewanto, Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta

Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru saja menyelesaikan rekapitulasi dan penetapan hasil pemilu 2014 tepat 30 hari pasca pemilu, yakni pada 9 Mei 2014 dengan hasil yang tidak berbeda jauh dengan hasil survei dan hitung cepat (quick count) aneka lembaga survei. 

Publik dikejutkan dengan angka partisipasi pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) pemilu 2014 meningkat melebihi perkiraan, yakni 71, 11%. Berarti angka golongan putih (golput) hanya 24,89%, turun dari angka golput pada Pileg 2009 yang mencapai 29,01% dengan tingkat partisipasi 70,99%.

Dari aspek sosiologi politik dan psikologi politik, rendahnya angka golput dan naiknya partisipasi pemilih di pemilu 2014 bukan karena sistem pemilu yang baik dan penyelenggaraan pemilu yang sukses. Paling tidak ada sejumlah fakta empiris yang secara sistemik mengharuskan angka partisipasi meningkat sehingga golput menurun.

Pertama, dari aspek sistem pemilu 2014 yang menganut sistem proporsional berbasis suara terbanyak (proporsional system with open list). Ini adalah sistem yang paling berjasa dalam meningkatkan partisipasi pemilih, karena sistem ini meniscayakan setiap calon anggota legislatif (Caleg) untuk berjuang sendiri hidup-mati untuk meraih simpati publik guna mendulang suara sebanyak-banyaknya tanpa peduli etika dan moral. Kompetisi dalam sistem ini sangat terbuka, bebas dan liberal bukan saja antar calon berbeda parpol, akan tetapi juga dalam satu parpol.

Kreativitas jahat dalam kompetisi yang digunakan para Caleg untuk meraih simpati publik telah melewati ambang irasionalitas politik. Misalnya, antar Caleg telah mengaveling wilayah untuk menggaet suara, bukan hanya dalam satu daerah pemilihan (Dapil) hingga ke wilayah RT/RW, dusun, desa/kelurahan dan kecamatan. Para Caleg membuat kesepakatan antar mereka untuk tidak memasuki wilayah yang telah mereka kuasai.

Model ini mirip kompetisi dalam ekonomi perdagangan kartel, dimana kompetisi telah dirancang dan disepakati antar Caleg di wilayah tertentu dengan cara berkongsi dengan para aparat RT/RW, dukuh, desa/kelurahan dengan berbagai imbalan material maupun immaterial mulai dari membangun jalan beraspal, bantuan sosial, bantuan raskin, dll. Ini adalah cara efektif menggerakkan partisipasi pemilih karena dimobilisasi oleh aparat terendah dalam lingkungan sosial RT/RW. Tanpa sosialisasi dari KPU pun rakyat dengan sendirinya berbondong-bondong datang ke TPS.

Politik uang vulgar
Kedua, aspek vulgarnya politik uang (money politics). Sistem pemilu dengan suara terbanyak telah merusak model kompetisi antar parpol menjadi kompetisi antara Caleg. Padahal jelas dalam pasal 22 E Ayat (3) UUD 1945 peserta pemilu adalah parpol bukan individu Caleg. Akan tetapi karena peran pengurus parpol yang rendah dalam sistem suara terbanyak ini membuat peran individu Caleg menjadi tinggi intensitasnya. Akibatnya kompetisi dalam pemilu 2014, bukan kompetisi ideologi, program dan gagasan antar parpol, namun kompetisi yang mempertontonkan potensi individu Caleg yang diajukan parpol.

Uniknya potensi yang dijual oleh Caleg dalam kompetisi model ini adalah potensi popularitas, jaringan sosial dan keagamaan, serta banyaknya uang (money) yang diwujudkan dalam berbagai bentuk. Mulai dari pembagian kaos, sembako, pulsa, polis asuransi, bibit tanaman, alat olah raga, fasilitas umum, dan uang cash and carry dari Rp 10.000–Rp 200.000 secara cuma-cuma pada setiap pemilih yang mau memilih Caleg tertentu.

Modus yang dirancang para Caleg dalam menyebar uang dan material ini: mulai dari serangan fajar, serangan dhuha, bahkan serangan sebulan sebelum hari H. Yang unik ada Caleg tertentu yang telah memiliki data TPS, jumlah pemilih terdaftar di DPT lengkap dengan alamatnya yang siap untuk didatangi door to door dan face to face setahun sebelum pemilu. Belum lagi Caleg yang memanfaatkan agen penjual hand phone (HP) untuk diminta nomor HP pemilih yang siap dikirimi ajakan memilih melalui SMS yang jumlah puluhan ribu.

Bahkan masih ada caleg tertentu yang kreatif menggratiskan pemilih makan bakso, mie ayam, sampai prasmanan pasca pencoblosan. Model ini telah menjungkirbalikkan ideologi pemilih dari sarana kedaulatan rakyat, berubah menjadi sarana mendaulatkan uang.

Ketiga, berubahnya perilaku pemilih dari idealis ke pragmatis. Ini adalah penyakit kronis dari pemilu kali ini. Pemilu bagi pemilih kini tak ubahnya pesta rutinitas tahunan seperti pesta ulang tahun, perkawinan atau sunatan. Karena pemilih datang ke TPS mayoritas tidak didasarkan pada keyakinan pilihan terhadap Caleg dan parpol yang berkualitas dan bervisi, misi dan berprogram yang baik, namun lebih dasarkan pada hadiah uang yang didapat dan kesenangan lain berupa imbalan sosial dari parpol dan Caleg di RT/RW tempat tinggalnya. Kini pemilu tak lagi sakral tak ubahnya hiburan pasar malam di kampung-kampung pasca panen raya atau panen tebu.

Perubahan perilaku pemilih (voting behavior) ini selain disebabkan oleh kian pudarnya budaya penghargaan pada prestasi dan kualitas personal, melainkan hanya pada kekayaan bendawi yang dimiliki oleh seseorang serta jabatan yang disandangnya.

Lebih dari itu gaya flamboyan dan hidup mewah yang diperlihatkan oleh elite parpol dan pejabat publik di ruang-ruang publik, seperti mobil mewah, gaya busana mahal, rumah mentereng dan royal telah mengilhami pemilih untuk menempatkan para Caleg setipe dengan elit politik itu. Akibatnya pemilih mengangap wajar saja jika caleg diperlakukan bak selebriti dan seorang dermawan yang perlu membagi-bagikan uang saat pemilu berlangsung.

Tiga fakta empiris ini menunjukan, bahwa meningkatnya partisipasi pemilih dan menurunnya golput bukan disebabkan oleh prestasi penyelenggara pemilu, melainkan karena ulah kreatif jahat para caleg sendiri yang memanfaatkan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak dengan melakukan politik uang untuk memobilisasi pemilih dan berubahnya perilaku pemilih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×