kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tidak sesuai fakta, BFI minta penetapan skorsing dicabut


Selasa, 04 September 2018 / 11:04 WIB
Tidak sesuai fakta, BFI minta penetapan skorsing dicabut
ILUSTRASI. BFI Finance


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sengketa kepemilikan saham PT BFI Finance Indonesia Tbk di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kembali digelar.

Pada sidang Senin (3/9), Kuasa Hukum BFI Finance Hotman Paris Hutapea mengajukan Permohonan Pencabutan Penetapan No. 120/G/2018/PTUN.JKT tanggal 19 Juli 2018 yang diajukan kepada majelis hakim.

Menurut Hotman, pihaknya terkejut dengan isi dari penetapan yang bersifat penundaan atau skorsing yang dimohonkan oleh PT Aryaputra Teguharta (APT) tersebut.

Pasalnya, hal itu bertentangan dengan temuan fakta hukum persidangan dan bertentangan dengan ketaatan perundang-undangan. Dalam Penetapan No. 120 itu PTUN Jakarta melakukan skorsing atas akta perusahaan dan pemakaian nama PT BFI Finance Indonesia Tbk.

Padahal, pemakaian nama itu sudah belasan tahun diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia pada 30 April 2002.

“Penetapan (skorsing) tersebut dikeluarkan oleh Majelis Hakim secara sepihak dengan percaya begitu saja atas dalil penggugat (APT) bahwa penggugat baru mengetahui nama PT BFI Finance Indonesia Tbk 90 hari sebelum gugatan di Tata Usaha Negara diajukan pada tanggal 16 Mei 2018,” kata Hotman dalam surat permohonannya.

Padahal dari bukti-bukti yang ada, lanjut Hotman, APT sudah mengetahui nama PT BFI Finance Indonesia Tbk sejak 2002, karena APT sendiri sudah tujuh kali membuat surat permohonan penetapan eksekusi atas sengketa perdata kepada BFI Finance di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang secara jelas menyebut nama PT BFI Finance Indonesia Tbk.

“Jadi, tidak benar penggugat baru mengetahui adanya Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM dalam jangka waktu 90 hari sebelum gugatan Tata Usaha Negara diajukan,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata Hotman, gugatan yang diajukan APT itu seharusnya sudah kadaluwarsa karena telah terbukti bahwa penggugat sudah mengetahui SK Kemenkumham tentang akta perusahaan dan nama PT BFI Finance Indonesia Tbk sejak lama.

“Jadi penetapan yang diterbitkan oleh Majelis Hakim PTUN No. 120 tanggal 19 Juli 2018 bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, khususnya Pasal 55 PTUN yang mengatur bahwa gugatan Tata Usaha Negara harus diajukan dalam jangka waktu 90 hari,” katanya.

Selain jangka waktu yang telah kadaluarsa, APT juga tidak memenuhi syarat dalam mengajukan gugatan di PTUN, karena APT bukan pemilik saham sehingga tidak memiliki kepentingan.

Hal itu sesuai dengan Pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Karena sudah tujuh kali permohonan eksekusi yang diajukan oleh APT selalu diputuskan sebagai putusan yang tidak dapat dieksekusi (non-eksekutable) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sehingga penggugat tidak dinyatakan sebagai pemilik.

Seperti diketahui, meskipun telah tujuh kali kalah di Pengadilan Negeri, APT terus mengklaim masih memiliki saham di BFI Finance. Tak kunjung membuahkan hasil, pada 16 Mei 2018 APT banting setir dan memilih menggugat Kemenkumham di PTUN Jakarta.

Merasa menjadi objek sengketa, BFI Finance pun mengajukan diri menjadi tergugat II intervensi.

Menurut Hotman masalah klaim kepemilikan saham ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika APT dan Ongko Grup membayar utang-utangnya pada tahun 1999 silam. Karena tak kunjung membayar utang, maka saham APT dan Ongko di BFI yang sebelumnya memang menjadi objek jaminan atau gadai pun lantas dieksekusi untuk dijual.

Sekadar mengingatkan, Grup Ongko dikendalikan oleh taipan Kaharuddin Ongko yang juga pemilik Bank Umum Nasional. Bank tersebut dibekukan saat krisis ekonomi pada 1998 dan menerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Ongko kemudian masuk sebagai debitor Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan utang sekitar Rp 7,8 triliun.

“APT mengklaim memiliki saham BFI karena saham ini nilainya sudah triliunan di market. Kalau lihat nilai segitu, siapa yang tidak akan berusaha berjuang. Coba dulu waktu krismon, dimana dia sebagai pemilik saham, mau enggak nanggung utang-utang BFI,” kata Hotman.

Rencananya, Permohonan Pencabutan Penetapan No. 120/G/2018/PTUN.JKT dari BFI Finance tersebut, akan disidangkan pada persidangan selanjutnya, 17 September 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×