Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Handoyo .
“Jadi, tidak benar penggugat baru mengetahui adanya Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM dalam jangka waktu 90 hari sebelum gugatan Tata Usaha Negara diajukan,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Hotman, gugatan yang diajukan APT itu seharusnya sudah kadaluwarsa karena telah terbukti bahwa penggugat sudah mengetahui SK Kemenkumham tentang akta perusahaan dan nama PT BFI Finance Indonesia Tbk sejak lama.
“Jadi penetapan yang diterbitkan oleh Majelis Hakim PTUN No. 120 tanggal 19 Juli 2018 bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, khususnya Pasal 55 PTUN yang mengatur bahwa gugatan Tata Usaha Negara harus diajukan dalam jangka waktu 90 hari,” katanya.
Selain jangka waktu yang telah kadaluarsa, APT juga tidak memenuhi syarat dalam mengajukan gugatan di PTUN, karena APT bukan pemilik saham sehingga tidak memiliki kepentingan.
Hal itu sesuai dengan Pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Karena sudah tujuh kali permohonan eksekusi yang diajukan oleh APT selalu diputuskan sebagai putusan yang tidak dapat dieksekusi (non-eksekutable) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sehingga penggugat tidak dinyatakan sebagai pemilik.
Seperti diketahui, meskipun telah tujuh kali kalah di Pengadilan Negeri, APT terus mengklaim masih memiliki saham di BFI Finance. Tak kunjung membuahkan hasil, pada 16 Mei 2018 APT banting setir dan memilih menggugat Kemenkumham di PTUN Jakarta.
Merasa menjadi objek sengketa, BFI Finance pun mengajukan diri menjadi tergugat II intervensi.