Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Presiden RI Joko Widodo mengatakan melalui Perpres ini, Indonesia telah menjadi penggerak pertama penanggulangan perubahan iklim berbasis market di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
Pengesahan peraturan ini juga disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow, UK.
Sebagai informasi, pendekatan berbasis pasar market-based instruments (MBI) adalah kebijakannya pada aspek penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut dengan carbon pricing. Secara umum, carbon pricing terdiri atas dua mekanisme penting yaitu perdagangan karbon dan instrumen non-perdagangan.
Jika instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism, maka instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment (RBP).
Baca Juga: Cara Indonesia dorong pemulihan ekonomi global dalam Presidensi G20 tahun 2022
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan selain pandemi, perubahan iklim akan menjadi tantangan global yang perlu ditangani secara bersama, baik di tingkat internasional maupun nasional dalam negeri Indonesia. Sebab, pada tahun 2016, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC).
Komitmen tersebut kemudian dipertegas menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan nasional 2020 – 2024 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional. Hal tersebut menunjukkan betapa kuatnya dukungan atas komitmen global tersebut.
Febrio menyampaikan, melalui Perpres tersebut akan mendorong upaya Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Lebih lanjut, sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.
Di sisi lain, dalam dokumen update NDC tahun 2021, melalui long term strategy – low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih awal. Dokumen terakhir tersebut juga menetapkan perlunya perhatian pada aspek adaptasi perubahan iklim sebagai salah satu target strategis nasional.
Baca Juga: Jadi tuan rumah G20, Indonesia dorong kesepakatan pajak global
“Pemerintah sangat memahami bahwa untuk mencapai target NDC diperlukan inovasi-inovasi instrumen kebijakan. Penetapan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan NZE 2060 sebagai bagian dari ikhtiar menuju Indonesia Emas tahun 2045”, tegas Febrio Kacaribu, Selasa (2/10).
Adapun teranyar, pemerintah saat ini tengah memperjuangkan isu Climate Finance dari tempat penyelenggaraan COP 26 di Glasgow. “Instrumen NEK ini menjadi bukti kolaborasi dan kerja sama multipihak yang sangat baik dan dapat menjadi momentum bagi first mover advantage penanggulangan perubahan iklim berbasis market di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan”, lanjut Febrio.
Diharapkan investasi hijau global akan berlomba menuju Indonesia di samping kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan berbiaya rendah hijau global.
Kata Febrio untuk mendukung pencapaian target NDC, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan fiskal termasuk pemberian insentif perpajakan, alokasi pendanaan perubahan iklim di tingkat kementerian/lembaga, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dan inovasi-inovasi pembiayaan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Sustainable Development Goals (SDG) Indonesia One dan Green Climate Fund (GCF).
Inovasi kebijakan terakhir yang ditempuh adalah implementasi pajak karbon melalui penetapan Undang Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Implementasi tersebut telah menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini di antaranya Inggris, Jepang dan Singapura dan juga sebagai salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan melakukan transisi yang tepat agar pengenaan pajak karbon tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
"Pengenaan pajak karbon dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi. Dengan demikian, sistem pengenaan pajak karbon yang berlaku di Indonesia bukan hanya adil (just), tapi juga terjangkau (affordable) dan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat luas," ujarnya.
Dengan demikian, lanjut Febrio, Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur. Industri-industri berbasis hijau akan menjadi primadona investasi masa depan. industri kendaraan listrik, sumber-sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, panas bumi, dan angin akan menjadi pendongkrak ekonomi dan mampu memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia serta menyerap tenaga kerja yang berkeahlian tinggi.
“Ini merupakan kesempatan emas untuk mensejajarkan bangsa Indonesia dengan negara-negara lain dan di saat yang sama mampu menjaga warisan bumi Indonesia yang sehat dan berkelanjutan yang dipinjamkan oleh anak cucu kita”, pungkas Febrio.
Selanjutnya: Jokowi ajak para pemimpin wujudkan ekosistem rantai pasok global yang tangguh
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News