Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerimaan pajak hingga akhir kuartal I-2022 moncer. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, penerimaan pajak dari awal tahun hingga Maret 2022 sudah mencapai Rp 322,46 triliun.
Ini tumbuh 41,36% yoy bila dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Dengan jumlah tersebut, berarti ini sudah mencapai 25,49% dari target yang ditetapkan dalam APBN 2022.
Ke depan, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono optimistis penerimaan pajak berpeluang untuk kembali meningkat. Sehingga, target penerimaan pajak yang dipatok oleh pemerintah sebesar Rp 1.265,0 triliun bisa dicapai.
“Penerimaan pajak masih tetap mengikuti tren pemulihan ekonomi, sehingga berpotensi mengalami peningkatan secara konsisten. Optimistis target penerimaan pajak akan terpenuhi,” tutur Prianto kepada Kontan.co.id, Rabu (20/4).
Baca Juga: Sri Mulyani: Membaiknya Penerimaan PPN Bukti Aktivitas Konsumsi Makin Baik
Kinerja penerimaan pajak pada tahun 2022 ini didorong oleh perbaikan kinerja lapangan usaha, seperti sektor industri pengolahan dan perdagangan yang tumbuh karena peningkatan produksi, ekspor impor, serta aktivitas konsumsi.
Kemudian, sektor jasa keuangan dan asuransi dan pertambangan juga diperkirakan tumbuh kuat seiring peningkatan permintaan dan harga komoditas tambang.
Kemudian, ada juga sektor konstruksi serta real estat. Ini kemudian menyokong penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) 25/29 badan, PPh 21, dan PPh Final.
Dari sisi konsumsi, konsumsi dalam negeri diperkirakan terus membaik sehingga mendorong kegiatan impor. Dengan demikian, penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diperkirakan tumbuh positif.
Baca Juga: Penerimaan Pajak Moncer, Perbaikan Ekonomi Dalam Negeri Makin Nyata
Selain itu, ada juga pertumbuhan dari PPh non migas yang menunjukkan pemulihan ekonomi di tahun 2022 masih berlanjut.
Namun, Prianto mengingatkan ada tantangan yang bisa memengaruhi penerimaan pajak ke depan. Salah satunya adalah eskalasi perang antara Rusia dan Ukraina yang bagaimanapun akan melecut kenaikan harga komoditas, termasuk energi sehingga inflasi membengkak.
“Perang ini juga memunculkan kekhawatiran kelangkaan subkomponen sehingga berimbas pada impor dan industri pendukung lainnya,” tandas Prianto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News