Reporter: Amal Ihsan Hadian, Maria Elga Ratri, Dikky Setiawan | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Walau mampu tumbuh di atas 6%, sejatinya ekonomi negara kita sedikit melesu ketimbang tahun lalu. Alhasil, sebagian warga masyarakat tak percaya bahwa di atas kertas ekonomi kita membaik. Maklum, kendati indikator ekonomi makro cukup cantik, mereka harus berupaya keras menjaga asap dapur agar tetap ngebul.
Tengok saja, Muqoddam, seorang buruh perajin batik. Setiap hari, ia mengayuh sepeda dari rumahnya di Desa Pakembulan, Kabupaten Pekalongan, ke sentra pembatikan di pusat kota. Di sore hari, ia bisa membawa pulang uang Rp 40.000. Jika order banyak dan terpaksa lembur, lelaki 57 tahun ini bisa mengantongi Rp 50.000. Dalam sebulan, dia bisa membawa pulang sekitar Rp 1,4 juta.
Adapun istri Muqoddam, Fatimah, sebenarnya hanya ibu rumahtangga. Cuma, untuk menambah penghasilan keluarga, perempuan 48 tahun ini menerima pesanan jahitan baju dengan ongkos Rp 40.000. Hasilnya lumayan. Dalam seminggu, Fatimah bisa mendapat Rp 200.000 dari usaha jahitnya itu.
Daerah tempat tinggal Muqodam dan istri plus dua anaknya, relatif tak menuntut biaya hidup tinggi. Tapi, jika ia sakit dan tidak berangkat kerja, maka tak ada pemasukan hari itu. Selama ini, “Uang kami habis untuk kebutuhan harian, listrik, dan kalau ada sisa untuk biaya sekolah anak,” kata Muqoddam.
Lain lagi pengalaman Hadi Susilo, pedagang nasi goreng di daerah Kemanggisan Pulo, Jakarta Barat. Tadinya, ia adalah buruh bangunan di sebuah perusahaan kontraktor. Krisis moneter 1998 membuat perusahaan tempatnya bekerja sepi order. Dia pun banting setir jualan nasi goreng keliling.
Sekarang, bapak dua anak ini setiap hari harus berbelanja empat liter beras, 20 mi, dua kilogram telur, sayur, minyak, dan bumbu untuk setidaknya 50 porsi nasi atau mi goreng ke Pasar Palmerah. Hadi menjual nasi goreng maupun olahan mi Rp 7.000 per porsi.
Cuma sekarang, dengan harga segitu, lelaki 32 tahun ini mengaku merasa kesulitan. Pasalnya, harga telur dan sayuran kian melonjak tajam. “Seikat sawi tadinya hanya Rp 2000, tapi sekarang Rp 5.000,” tuturnya. Meskipun biaya dagangannya meningkat, Hadi belum berani menaikkan harga nasi goreng dan mi goreng.
Soal biaya hidup yang semakin meningkat juga dikeluhkan Wati, ibu rumahtangga yang tinggal di Cakung, Jakarta Timur.
Penghasilan suaminya yang bekerja sebagai staf Perum Damri sebesar Rp 1,7 juta, menjadi pas-pasan.
Perempuan 43 tahun itu mengatakan, uang Rp 300.000 habis untuk uang saku dan transportasi kedua anaknya setiap bulan. Ada juga Rp 20.000 untuk belanja harian dan Rp 100.000 untuk listrik bulanan. Belum lagi biaya sewa rumah kontrakan Rp 450.000 sebulan. Yang jelas, “Tahun ini apa-apa menjadi mahal,” keluhnya.
Ketika banyak masyarakat bawah tercekik kebutuhan hidupnya akibat kenaikan harga, sebagian masyarakat lain yang lebih mampu mengeluhkan kenaikan tarif parkir dan tol.
Fransiska, misalnya. Single mother yang bekerja sebagai account excecutive di sebuah majalah gaya hidup ini menghabiskan nyaris separuh penghasilannya hanya untuk keperluan bahan bakar mobilnya, biaya parkir dan tol yang mencapai Rp 1,2 juta sebulan. Maklum, Fransiska harus mengendarai mobil 2 jam - 3 jam dari rumahnya di Jakarta Timur ke kantornya di Jakarta Selatan. Belum kalau ia harus bertemu klien di tempat lain.
Untuk menyiasati kenaikan pengeluaran, perempuan cantik berusia 26 tahun itu terpaksa mengganti merek susu yang dikonsumsi oleh putrinya yang berusia setahun. “Selisihnya bisa Rp 40.000 per karton, merek popok juga ganti,” katanya sembari tersenyum getir. Pengeluaran lain, ia berterus terang, masih mengandalkan bantuan orangtuanya.
Gery, 27 tahun, juga mengalami nasib yang sama. Walau penghasilan dari pekerjaannya sebagai salesman alat-alat pengolahan minyak lumayan besar, ia harus menyisihkan separuh gajinya setiap bulan untuk biaya transportasi, asuransi unitlink miliknya, dan arisan yang diset per enam bulan untuk biaya kuliahnya.
Sama seperti Fransiska, Gery juga masih tinggal dengan orangtua dan hal itu sangat membantu menahan laju pengeluaran bulanan. Toh, ia juga menyisihkan sebagian pendapatannya untuk kebutuhan bulanan orangtuanya.
Baik Gery maupun Fransiska sudah memiliki fasilitas asuransi kesehatan dari perusahaan. Sehingga, mereka tak terlalu pusing memikirkan biaya kesehatan yang kian menanjak.
Tak semua orang meratapi tahun 2012 sebagai tahun sulit. Siti Rusminawati, ambil contoh, merasa kondisi finansial keluarganya tak terganggu. Kepala bagian sebuah perusahaan swasta penyedia alat tulis kantor di Jakarta ini justru mengalami peningkatan hidup.
Meski setiap bulan ia dan suaminya mengeluarkan sekitar Rp 9,5 juta per bulan untuk kebutuhan rutin dan cicilan rumah tinggal, nyatanya itu tidak memberatkan dia. “Kalau tahun lalu mengontrak, tahun depan saya ingin punya rumah milik pribadi,” ujar wanita yang menikah setahun silam ini.
Siti terbiasa disiplin dalam hal pengelolaan uang sehingga perubahan biaya tahun ini tak dirasa terlalu memberatkan. Sebab, dirinya sudah terbiasa membagi-bagi pengeluaran ke pos-pos dan wajib menabung dalam jumlah tetap.
Siti tidak sendirian. Sebagian orang juga merasa melewati tahun ini dengan rejeki yang lancar. Alvin Adam adalah salah satu di antaranya. Pria yang berprofesi sebagai presenter acara ternama dan aktor ini mengatakan, bahwa bisnis dan pekerjaannya justru makin menanjak di tahun ini.
“Mungkin karena bisnis saya kuliner dan rumahan, jadi lebih simple,” kata pria 41 tahun ini. Toh, Alvin juga merasakan kenaikan harga yang signifikan atas bahan baku usahanya, seperti daging kambing dan domba. “Tapi saya juga mengompensasi kenaikan harga produk dengan tambahan layanan atau packaging supaya konsumen tidak kaget,” bebernya.
Upah buruh bikin berat
Erwin Parengkuan, penyiar radio dan pengajar public speaking, juga menganggap tahun 2012 sebagai tahun mengembangkan investasi. Baru-baru ini ia membuka cabang toko kue yang telah dia rintis sejak setahun lalu serta mengembangkan usaha pelatihan seni bicara di depan publik.
Erwin juga tak terlalu terpengaruh kenaikan harga bahan baku pembuatan kue yang ia jual melalui gerai, The Baked Good. “Itu sudah kami perhitungkan sebelumnya, dan saat ini saya bisa bilang kalau produk kami sudah berada di harga yang tepat” kata dia.
Berbeda dengan Alvin dan Erwin, pemilik rumahmakan masakan China, Gita Gotami mesti berusaha lebih keras agar usahanya terus bertahan. “Semua harga naik terutama daging dan bumbu,” ujarnya.
Apalagi, jenis masakan China membutuhkan bumbu yang beragam dan bahan isian yang terdiri dari aneka jenis daging, seperti ayam dan sapi yang tahun ini harganya melejit gila-gilaan.
Mau tidak mau, dia mengerek harga jual, walaupun untungnya tak banyak. Budi Handoko, pemilik PT Bintangraya Group, perusahaan perkebunan kelapa sawit, juga mengeluh tahun ini iklim bisnis lebih buruk ketimbang tahun lalu. Dia memberi contoh bisnis ekspor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) yang tengah lesu.
Saat ini, penjualan CPO yang menjadi primadona menangguk devisa dengan ekspor ke sejumlah pasar di Eropa dan Amerika, mengalami penurunan. Negara importir sedang melakukan pengetatan akibat menurunnya daya beli imbas dari krisis global.
“Eropa masih krisis. Kami sulit menjual CPO ke sana. Saat ini, kami hanya mengandalkan pasar Cina,” keluhnya. Akibatnya, Budi bilang, pendapatan perusahaan ikut terpuruk.
Paling tidak, hingga akhir tahun ini, omzet Bintangraya menukik 20% - 25% dibanding tahun lalu. Celakanya, di tengah kondisi itu, pengusaha masih dibebani kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
Menurut Budi, kenaikan UMP turut mengatrol biaya produksi pengusaha. “Kalau UMP di DKI naik 40% dan satu perusahaan punya 1.000 orang karyawan, berapa biaya tambahan yang harus dikeluarkan? Padahal, kami sulit menaikkan harga jual produk,” ungkap Budi.
Betul, Budi menambahkan, sejauh ini karyawan pabrik pengolahan CPO-nya di Kalimantan Timur belum menuntut kenaikan upah. Tapi, kalau mereka melihat standar gaji di perusahaan lain lebih tinggi, mereka bisa saja pindah bekerja di perusahaan itu.
Dampak pertumbuhan ekonomi berbeda yang dirasakan setiap orang sebenarnya terjadi karena kenaikan pendapatan mereka relatif lebih rendah ketimbang kenaikan harga. Pada saat bersamaan, ada kelompok masyarakat yang mengalami peningkatan pendapatan lebih tinggi. Kalau sudah begini, yang terjadi adalah kesenjangan.
Buktinya, data Gini Koefisien Indonesia hasil perhitungan Badan Pusat Statistik menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Gini Koefisien adalah indikator kesenjangan pendapatan.
Rasio ini dihitung dengan rumus equality line Kurva Lorenz menggunakan data persebaran pengeluaran dan jumlah penduduk. Skalanya antara 0 sampai 1. Makin mendekati 0, makin baik kondisinya. Makin mendekati 1, makin lebar jurang ketimpangannya. Pada 2011, indeks Gini negara kita mencapai 0,41. Angka ini merupakan yang tertinggi. Padahal sejak 1964 hingga 2010, indeks Gini Indonesia berkisar 0,32 - 0,37.
Rus’an Nasrudin, pengamat ekonomi UI, menilai, kenaikan pendapatan ini lantaran pertumbuhan tinggi yang menciptakan peningkatan pendapatan hanya terjadi pada sektor ekonomi ataupun wilayah tertentu.
“Sementara, sektor perekonomian tertentu tidak mengalami peningkatan pendapatan yang signifi kan,” katanya. Untuk mengatasi masalah ini, menurut Rus’an, tak ada resep yang singkat. Pemerintah harus memperbesar program asistensi untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah, serta meningkatkan program perbaikan kualitas dan pembangunan sumber daya manusia.
Kesimpulannya, semua masyarakat dari berbagai kalangan sepakat: hidup tahun ini lebih berat ketimbang tahun lalu.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 11 - XVII, 2012 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News