kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Soal RUU minuman beralkohol, ini usulan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)


Rabu, 14 Juli 2021 / 18:58 WIB
Soal RUU minuman beralkohol, ini usulan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
ILUSTRASI. Minuman beralkohol (minol), minuman keras. Soal RUU minuman beralkohol, ini usulan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut, perlu adanya keseimbangan pengaturan antara melindungi masyarakat yang rentan dari berbagai dampak buruk minuman beralkohol. Serta kepentingan industri minuman beralkohol, pariwisata dan/atau adat istiadat yang perlu diatur dalam RUU minol.

Hal tersebut disampaikan perwakilan IDI yakni Gerald Mario Semen dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) RUU minol dengan Badan Legislasi, Rabu (14/7). “Harapan kami tentu ada keseimbangan (antara keduanya). Apapun judulnya kami mendukung, tentunya ini demi masyarakat Indonesia,” ujar Gerald dalam RDPU dengan Badan Legislasi DPR, Rabu (14/7).

Lebih lanjut, IDI mengatakan, tidak ada urgensi yang tinggi dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU minol). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi penggunaan alkohol usia lebih 10 tahun sebanyak 3% dan pada riskesdas tahun 2018 sebanyak 3,3%. Sedangkan, prevalensi merokok usia lebih 10 tahun sebanyak 28,8% dan pada riskesdas tahun 2018 sebanyak 29,3%.

“Menurut pendapat kami, RUU tentang larangan minuman beralkohol tidak memiliki urgensi yang tinggi karena berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2018, penggunaan prevalensi konsumsi penggunaan alkohol masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan prevalensi merokok pada penduduk usia 10 tahun,” terang Gerald.

Baca Juga: Prolegnas prioritas tahun 2021 bakal dievaluasi pada bulan Juli

IDI mengusulkan sejumlah poin-poin yang mesti ada dalam RUU minol. Yakni batas kandungan alkohol pada minuman yang beredar di Indonesia dan tempat yang diperbolehkan menjual minuman beralkohol. Kemudian, pengaturan minuman beralkohol tradisional harus diatur melalui peraturan daerah.v“Batas usia orang yang boleh mengkonsumsi minuman beralkohol,” ucap Gerald.

Gerald mengatakan, penggunaan minuman beralkohol memang dapat menimbulkan berbagai komplikasi kesehatan. Baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental.Ganggu

an kesehatan mental dapat terjadi akibat efek alkohol terhadap otak maupun efek tidak langsung alkohol terhadap kehidupan biopsikososial penggunanya seperti permasalahan hukum, kemiskinan, masalah rumah tangga dan lainnya. “Pengguna alkohol menjadi pintu masuk untuk penggunaan narkoba yang lain. Ini memang harus dikendalikan,” ungkap dia. 

Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) Fahira Idris berharap Indonesia bisa meniru negara-negara lain yang memproduksi alkohol dan punya payung hukum peraturannya berupa undang-undang.

Sebab, dalam KUHP disebutkan bahwa pengguna minuman beralkohol yang mengganggu ketertiban umum, mengancam orang lain atau merintangi lalu lintas diancam kurungan penjara paling lama enam hari dan pidana denda paling banyak Rp 375. Hal ini terdapat dalam pasal 492 ayat 1 KUHP.

Baca Juga: MUI dan NU mendesak pemerintah hentikan penerbitan IUI minol

“Bagaimana kita punya aturan yang melindungi dan bagaimana agar aparat punya satu payung hukum karena setiap hari banyak yang mengadukan kepada kami, kemudian kita konsultasi kepada aparat dan aparat juga sangat berharap Indonesia punya payung hukumnya agar mereka bisa menindaklanjuti lagi kasus itu,” ucap Fahira.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, perlu adanya kajian terkait penerimaan negara dari sektor minuman beralkohol dan beban ekonomi dan kesehatan yang ditanggung akibat adanya konsumsi minuman beralkohol.

“Dalam beberapa studi lebih berat cost nya atau kerugian ekonominya, sehingga itu mungkin bisa jadi pertimbangan dapatnya tidak seberapa tetapi kerugian ekonomi yang harus dimitigasi kalau terus menerus regulasinya seperti sekarang,” ungkap Bhima.

Baca Juga: DPR mengaku belum terima draf RUU Sektor Keuangan yang masuk prolegnas prioritas

Bhima mengatakan, dalam studi yang dilakukan Montarat Thavorncharoensap (peneliti spesialis dampak minuman beralkohol terhadap perekonomian) menunjukkan bahwa beban ekonomi dari minuman beralkohol adalah 0,45% hingga 5,44% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Hal ini merupakan hasil riset di 12 negara.

Jika menerapkan angka yang dipakai AS yaitu 1,66%. Kemudian, PDB Indonesia pada tahun 2020 sebesar Rp 15.434,2 triliun dikalikan 1,66%, maka hasilnya beban ekonomi minuman beralkohol yang mesti ditanggung Indonesia sebesar Rp 256 triliun.

Bahkan jika diambil dari angka 0,45%, maka beban ekonomi yang mesti ditanggung sebesar Rp 69,4 triliun, dimana angka tersebut tetap lebih tinggi dari penerimaan negara dari cukai yang sebesar Rp 7,14 triliun per tahunnya.

“Jadi memang semangatnya membutuhkan regulasi yang lebih ketat lagi, entah judulnya larangan atau pengendalian. Tapi saya tetap mendukung dalam menyelamatkan perekonomian jangka panjang tentunya banyak sektor yang masih digarap atau didukung selain dari minuman beralkohol sehingga lebih tepat untuk melakukan pelarangan,” ucap Bhima.

Selanjutnya: RUU larangan minuman beralkohol mendapat pertentangan dari APIDMI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×