Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Penggunaan tarif efektif rata-rata (TER) dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dinilai menimbulkan banyak masalah, baik bagi Otoritas Pajak, perusahaan, maupun karyawan.
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menilai, skema TER sebaiknya diganti atau tarifnya diturunkan mulai tahun pajak 2026.
"Perhitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan TER sudah menimbulkan banyak masalah, baik dari sisi DJP maupun dari sisi perusahaan dan karyawan. Karena itu sudah sepantasnya jika tahun 2026 diganti dan kembali ke model sebelumnya, atau tarif TER diturunkan," ujar Raden kepada Kontan.co.id, Senin (27/10/2025).
Baca Juga: Ditjen Pajak Akan Evaluasi Skema Tarif Efektif Rata-Rata PPh 21 Akhir Tahun Ini
Ia menjelaskan, masalah utama muncul di awal tahun, yakni pada masa pajak Januari dan Februari.
Dengan skema TER, banyak perusahaan mengalami kelebihan setor PPh Pasal 21 karena tarif efektif rata-rata kadang lebih tinggi dibanding tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh.
Ia menjelaskan, skema TER digunakan untuk masa pajak Januari hingga November. Sementara masa pajak Desember menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh.
"Karena rata-rata maka ada tarif yang sebenarnya di atas tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh. Akibatnya, ketika dihitung ulang di akhir tahun dengan tarif sebenarnya, terjadi kelebihan bayar," katanya.
Kelebihan bayar ini, lanjutnya, wajib dikembalikan kepada karyawan. Namun, banyak perusahaan tidak mengembalikannya karena dana tersebut sudah disetorkan ke kas negara.
"Banyak perusahaan yang tidak mau mengembalikan kelebihan bayar ini. Sehingga tentu karyawan dirugikan. Ini masalah di perusahaan dan karyawan," terang Raden.
Kondisi ini juga berdampak terhadap penerimaan pajak negara di awal tahun berikutnya. Raden menuturkan, karena masa pajak Desember umumnya mengalami kelebihan potong, tidak ada setoran PPh 21 di bulan Januari.
Baca Juga: Ditjen Pajak Evaluasi Skema Pemotongan TER PPh 21, Bakal Diubah?
Menurut Raden, hal ini berpotensi membuat penerimaan pajak di awal tahun 2026 tampak turun dibandingkan rata-rata bulanan sepanjang tahun.
"Karena tidak ada setoran PPh 21, maka di awal tahun 2026 kemungkinan akan drop dibandingkan penerimaan rata-rata sepanjang tahun," jelasnya.
Namun, ia menilai kondisi itu masih akan lebih baik dibandingkan awal 2025 yang turun drastis akibat gangguan implementasi sistem Coretax dan berkurangnya penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN).
Menurut Raden, solusi terbaik atas kekacauan yang ditimbulkan oleh skema TER adalah dengan mengembalikan metode perhitungan PPh Pasal 21 ke sistem sebelumnya yang langsung mengacu pada tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh.
Ia menilai, metode lama jauh lebih adil dan stabil karena hasil perhitungannya selalu konsisten dengan tarif yang berlaku dalam undang-undang.
Dengan demikian, penerimaan negara tidak mengalami fluktuasi besar di awal tahun, sementara perusahaan juga tidak dibebani kewajiban mengembalikan kelebihan potong pajak kepada karyawan.
Baca Juga: Dirjen Pajak Sebut Implementasi TER Jadi Penyebab Penerimaan Pajak Jeblok di 2025
Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyarankan DJP untuk merevisi besaran tarif TER PPh 21 ketimbang mengembalikannya ke metode awal.
Menurutnya, besaran tarif TER yang berlaku saat ini menyebabkan lebih bayar yang cukup besar terutama pada saat menerima bonus dan THR di lebaran.
"Kalau dikembalikan pun akan menjadi beban baru bagi wajib pajak karena sistem dan perhitungannya sudah mengadaptasi skema TER PPh 21. Kita ambil jalan tengahnya saja, revisi besaran tarif TER PPh 21 agar jangan sampai besaran lebih bayarnya terlalu besar," terang Fajry.
Untuk diketahui, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berencana melakukan evaluasi terhadap penerapan skema tarif efektif rata-rata (TER) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 pada akhir tahun ini.
Evaluasi dilakukan setelah skema tersebut berjalan sekitar dua tahun sejak diperkenalkan.
"Evaluasinya akhir tahun kita akan review, kan sudah dua tahun kalau enggak salah perjalanannya. Kita akan review," ujar Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (22/10/2025).
Bimo menjelaskan, prinsip utama dalam skema TER sebenarnya lebih terkait pada pengaturan waktu pengakuan dan pembebanan pajak penghasilan.
"Itu sebenarnya cuma timing saja. Timing pengakuan, kemudian pembebanannya di awal, di spread evenly, atau di akhir," katanya.
Meski begitu, Bimo menyebutkan bahwa sejumlah keluhan yang sempat muncul di awal penerapan TER kini sudah banyak teratasi.
Sosialisasi dan pemahaman yang lebih luas di kalangan profesi turut membantu memperlancar implementasinya.
"Sebenarnya beberapa keluhan sudah bisa termitigasi dengan baik. Misalnya dari beberapa profesi, dokter segala macam, banyak sekali yang sudah paham," jelas Bimo.
Adapun skema TER ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023.
Lewat beleid tersebut, besaran PPh Pasal 21 dihitung dengan mengalikan tarif efektif bulanan Peraturan Pemerintah (PP) 58/2023 dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima pegawai tetap dalam satu masa pajak.
Nah, penghasilan teratur dan penghasilan tidak teratur yang diterima karyawan tidak dapat dipisahkan dalam perhitungan pajak, sehingga kedua jenis penghasilan tersebut dijumlahkan dan dikenai pemotongan sebesar tarif efektif rata-rata (TER).
Artinya, jika pegawai tetap menerima penghasilan tidak teratur seperti THR dan bonus dalam suatu masa pajak, maka penghasilan tersebut digabungkan ke dalam penghasilan bruto.
Untuk menentukan PPh Pasal 21 terutang, penghasilan bruto kemudian dikalikan dengan TER bulanan sesuai status PTKP dari pegawai tetap yang menerima penghasilan.
Misalnya, seorang pegawai tetap bernama Tuan X (TK/0) menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja senilai Rp 8 juta sebulan pada masa pajak Februari 2025.
Atas penghasilan bruto tersebut, maka Tuan X dikenai PPh Pasal 21 dengan tarif efektif bulanan kategori A sebesar 1,5%.
Kemudian, pada masa pajak Maret 2025, Tuan X menerima THR satu kali gaji sehingga penghasilan bruto yang diterima Tuan X menjadi Rp 16 juta.
Oleh karena itu terdapat perubahan tarif, di mana tarif efektif bulanan kategori A atas penghasilan bruto senilai Rp 16 juta adalah 7%.
Hanya saja, DJP Kemenkeu memastikan penerapan metode penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan TER tidak akan menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak.
Hal ini dikarenakan tarif TER diterapkan untuk mempermudah penghitungan PPh pasal 21 masa pajak Januari hingga November.
Nantinya pada masa pajak Desember, pemberi kerja akan memperhitungkan kembali jumlah pajak yang terutang dalam setahun menggunakan tarif umum PPh pasal 17, dan dikurangi jumlah pajak yang sudah dibayarkan pada masa Januari hingga November sehingga beban pajak yang ditanggung wajib pajak akan tetap sama.
Selanjutnya: Musim Laporan Keuangan jadi Katalis, Ini Rekomendasi Saham Pekan Ini dari IPOT
Menarik Dibaca: Musim Laporan Keuangan jadi Katalis, Ini Rekomendasi Saham Pekan Ini dari IPOT
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













