kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.398.000   2.000   0,08%
  • USD/IDR 16.727   -18,00   -0,11%
  • IDX 8.384   12,44   0,15%
  • KOMPAS100 1.160   2,43   0,21%
  • LQ45 844   2,48   0,30%
  • ISSI 294   1,24   0,42%
  • IDX30 442   1,22   0,28%
  • IDXHIDIV20 508   0,26   0,05%
  • IDX80 131   0,30   0,23%
  • IDXV30 136   -1,27   -0,92%
  • IDXQ30 140   0,35   0,25%

Siap-siap, Kemenkeu Mulai Lacak Shadow Economy Lewat Data Kependudukan


Jumat, 14 November 2025 / 11:27 WIB
Siap-siap, Kemenkeu Mulai Lacak Shadow Economy Lewat Data Kependudukan
ILUSTRASI. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan pentingnya integrasi data nasional, khususnya antara Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sebagai langkah untuk mempersempit shadow economy atau ekonomi bayangan di Indonesia.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan pentingnya integrasi data nasional, khususnya antara Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sebagai langkah untuk mempersempit shadow economy atau ekonomi bayangan di Indonesia.

Analis Kebijakan Muda Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan (DJPSK) Dewa Putu Ekayana menjelaskan bahwa integrasi NIK-NPWP akan menjadi fondasi penting untuk melacak aktivitas ekonomi yang selama ini belum tercatat secara resmi.

Dengan sistem tunggal ini, pemerintah dapat memetakan lebih akurat pelaku ekonomi, terutama di sektor informal dan pelaku UMKM yang belum terdaftar

"Integrasi NPWP dengan NIK itu sudah penting banget. Itu langkah yang menurut saya sangat penting untuk integrasi. Nanti akan terlacak baik itu dia sebagai rekeningnya, status rekeningnya seperti apa," ujar Dewa dalam acara seminar yang digelar Pusdiklat Pajak, Kamis (13/11/2025).

Baca Juga: Ditjen Pajak Perkuat Integrasi Data, Dorong Terwujudnya Single Profil Wajib Pajak

Ia menambahkan bahwa Indonesia masih memiliki shadow economy yang cukup besar, mencapai sekitar 23% dari PDB atau senilai Rp 5.100 triliun. 

Angka itu memang lebih rendah dibandingkan rata-rata global sebesar 29,7%, tetapi tetap menjadi tantangan besar dalam perluasan basis pajak nasional.

Ia menilai, semakin maju suatu negara, semakin kecil porsi ekonomi bayangan dalam struktur PDB-nya. 

Namun, keberadaan ekonomi informal tidak bisa dihapus sepenuhnya karena masih berperan sebagai penyerap tenaga kerja dan wadah pertumbuhan usaha baru.

"Gak selamanya shadow economy itu buruk. Kadang shadow economy itu penting," katanya.

Baca Juga: Ditjen Pajak Temukan 71% Perusahaan Sawit di Sumatra Utara Berisiko Pajak Tinggi

Dari sisi Kemenkeu, fokus kebijakan bukan pada kegiatan ilegal seperti penambangan atau perdagangan gelap, melainkan pada usaha-usaha informal yang potensial diformalisasi. 

Dewa menekankan bahwa integrasi data adalah kunci untuk mendorong transisi dari ekonomi tidak tercatat menjadi ekonomi teregister.

"Daftarin dulu, setelah dia terdaftar, usahanya itu berkembang menjadi PKP, baru pajaknya muncul," terang Dewa.

Selanjutnya: Ditjen Pajak Temukan 71% Perusahaan Sawit di Sumatra Utara Berisiko Pajak Tinggi

Menarik Dibaca: 7 Strategi Menyusun Anggaran Liburan Keluarga Akhir Tahun agar Kantong Tidak Jebol

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×