kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.932.000   3.000   0,16%
  • USD/IDR 16.326   52,00   0,32%
  • IDX 7.891   -36,20   -0,46%
  • KOMPAS100 1.106   -6,89   -0,62%
  • LQ45 818   -11,12   -1,34%
  • ISSI 265   -0,14   -0,05%
  • IDX30 422   -6,46   -1,51%
  • IDXHIDIV20 491   -6,29   -1,26%
  • IDX80 123   -1,61   -1,29%
  • IDXV30 132   -1,52   -1,14%
  • IDXQ30 137   -1,96   -1,41%

Tingginya Shadow Economy Hingga Korupsi Jadi Penyebab Rendahnya Tax Ratio Indonesia


Selasa, 26 Agustus 2025 / 13:39 WIB
Tingginya Shadow Economy Hingga Korupsi Jadi Penyebab Rendahnya Tax Ratio Indonesia
ILUSTRASI. Petugas melayani konsultasi wajib pajak di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Selasa (5/8/2025). Shadow economy menjadi salah satu penghambat utama peningkatan tax ratio Indonesia sehingga hal ini perlu diperbaiki.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menjelaskan bahwa rendahnya tax ratio Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor struktural dan kelembagaan.

Menurutnya, keberadaan ekonomi informal (shadow economy) yang besar serta masalah tata kelola seperti korupsi turut menekan kemampuan negara dalam mengumpulkan pajak.

"Besaran shadow economy itu menentukan juga. Ketergantungan sebuah negara pada sektor-sektor yang sifatnya informal itu juga berbanding terbalik dengan besaran tax ratio," ujar Yon dalam Webinar ISEI, Selasa (26/8/2025).

Ia menjelaskan, berdasarkan kajian dari berbagai literatur, terdapat empat kelompok utama penentu tax ratio.

Baca Juga: Di Bawah Target Prabowo, Tax Ratio 2029 Diperkirakan Hanya 15,01% PDB

Pertama, faktor pembangunan ekonomi (economic development), seperti tingkat pendidikan, pendapatan per kapita, dan jumlah populasi.

Kedua, struktur ekonomi (economic structure), di mana besarnya porsi ekonomi informal atau shadow economy berbanding terbalik dengan tax ratio.

Ketiga, faktor institusional (institution), yang meliputi efektivitas reformasi, tingkat korupsi, kekuatan institusi, serta kepercayaan publik.

Keempat, tax gap, yang terbagi atas administration gap dan policy gap.

Menurut Yon, administration gap terjadi ketika potensi penerimaan pajak sebenarnya bisa dikumpulkan, tetapi tidak sepenuhnya terealisasi, misalnya akibat pemeriksaan atau penagihan yang tidak optimal.

Baca Juga: Penjelasan Kemenkeu soal Tax Ratio yang Turun Saat Ekonomi Tumbuh Tinggi

Sedangkan policy gap muncul karena adanya pilihan kebijakan pemerintah yang dengan sengaja memberikan insentif atau fasilitas pajak.

Pada 2023, nilai tax expenditure Indonesia tercatat mencapai Rp 362 triliun atau sekitar 1,73% dari PDB.

Dari total tersebut, sekitar Rp 169 triliun (46%) digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk pengecualian PPN atas pendidikan, kesehatan, dan barang kebutuhan pokok.

Sementara itu, 23% dialokasikan untuk mendukung UMKM, dan 16,9% untuk mendorong investasi serta dunia usaha besar.

Baca Juga: Kejar Tax Ratio 11%, Dirjen Pajak Inisiasi Piagam WP & Optimalisasi Sektor Prioritas

"Inilah insentif yang diberikan secara sengaja oleh pemerintah dalam bentuk tax expenditure di mana pemerintah mensecurify tidak mendapatkan penerimaan pada saat ini, tetapi diberikan kepada masyarakat melalui berbagai insentif pajak yang diberikan," pungkasnya.

Selanjutnya: Intiland (DILD) Lunasi Sukuk Ijarah Berkelanjutan I Tahap II senilai Rp 250 miliar

Menarik Dibaca: Bukan Sekadar Tabungan, 4 Tips Menyiapkan Dana Pensiun dari Robert Kiyosaki

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Powered Scenario Analysis AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004

[X]
×