Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Upah Minimum (UM) menuai kritik dari kalangan buruh. Meski pemerintah telah mengubah mekanisme penetapan agar tidak dipukul rata, penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2026 di berbagai daerah dinilai justru memperlebar ketimpangan antar wilayah.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi mengapresiasi langkah pemerintah yang tidak lagi memutus prosentase kenaikan upah secara nasional. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa disparitas upah justru semakin menganga.
"Fakta ini menunjukkan bahwa UMK yang sudah tinggi naiknya dua kali lipat dari UMK yang rendah. Akibatnya ketimpangan upah semakin lebar," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (24/12).
Baca Juga: UMP 2026 Segera Berlaku, Asosiasi Pekerja: Kenaikan Belum Imbang dengan Harga Pokok
Sebagai contoh, Ristadi menyoroti kenaikan UMK di Jawa Barat, di Kota Bekasi kenaikan sekitar Rp 300.000 sehingga UMK 2026 tembus menjadi Rp 5,99 juta. Di sisi lain, Kota Banjar hanya naik sekitar Rp 150.000 dengan nilai UMK Rp 2,36 juta. Artinya, upah yang sudah tinggi justru naik lebih besar secara nilai rupiah.
Kejanggalan lain yang disoroti KSPN adalah posisi Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta yang kini lebih rendah dibandingkan UMK Kota Bekasi. Jakarta ditetapkan sebesar Rp 5,72 juta, sementara Bekasi mencapai Rp 5,99 juta.
"Jakarta kok bisa lebih rendah dari Kota Bekasi? Berdasarkan survei BPS, kebutuhan hidup di Jakarta lebih tinggi dari Bekasi. Berdasarkan jenis skala usaha, industri di Jakarta bahkan punya business value lebih tinggi," tegasnya
Menurutnya, kepadatan industri di Bekasi tidak bisa dijadikan satu-satunya dasar konstruksi upah, mengingat upah minimum dibayar oleh masing-masing perusahaan, bukan secara tanggung renteng oleh seluruh pelaku industri di daerah tersebut.
Jika formulasi kenaikan upah tetap dipertahankan seperti sekarang, KSPN khawatir persaingan dunia usaha menjadi tidak sehat dan berpotensi memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang lebih besar di daerah dengan upah rendah yang terus tertinggal.
Sebagai solusi, KSPN mengusulkan adanya reformasi total sistem pengupahan. Ke depan, kenaikan upah seharusnya tidak lagi berbasis kedaerahan, melainkan berdasarkan jenis sektor dan skala usahanya.
"Jenis sektor dan skala usaha yang sama, upahnya harus sama se-Indonesia. Ini akan lebih menghargai faktor kompetensi dan jam kerja, sekaligus menciptakan persaingan usaha yang sehat tanpa saling menjatuhkan," pungkasnya.
Selanjutnya: Usaha Mikro Tertekan, Penyaluran Kredit UMKM Menurun per November 2025
Menarik Dibaca: 14 Fitur Tersembunyi WhatsApp yang Jarang Diketahui, Intip Daftarnya di sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News












