Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi IX DPR menyatakan, akan menolak RUU omnibus law cipta lapangan kerja jika semakin merugikan buruh dan tidak mengakomodasi tuntutan buruh terkait omnibus law tersebut.
"Kalau memang aspirasi buruh tidak terakomodasi maka kami serentak menolak semuanya," kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Ansory Siregar, Senin (20/1).
Baca Juga: Mengapa buruh menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja? Ini enam alasannya
Anggota Komisi IX Saleh Partaonan Daulay mendorong pemerintah membuat daftar inventarisasi masalah (DIM) dan draf RUU tersebut dengan jelas dan tidak merugikan pihak manapun.
Senada, Anggota Komisi IX Netty Prasetiyani berharap, pemerintah transparan dalam pembentukan dan pembahasan RUU ini agar tidak ada poin atau pasal yang semakin merugikan kesejahteraan buruh.
Anggota Komisi IX Obon Tabroni, mengaku Komisi IX belum mendapatkan draf omnibus law tersebut hingga saat ini. Sebab itu, pemerintah diminta untuk memberikan draf omnibus law itu agar dapat segera dibahas oleh DPR.
Sebagai informasi, enam poin yang menjadi alasan KSPI, SBSI, Aspek Indonesia dan serikat buruh lainnya menolak RUU omnibus law cipta lapangan kerja karena beberapa hal sebagai berikut.
Baca Juga: Buruh gelar demo, lalu lintas di kawasan Gedung DPR ditutup
Pertama, serikat buruh menolak RUU tersebut jika menghilangkan upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.
"Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam," kata Iqbal.
Namun demikian, menurutnya, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.
Lagipula, penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum. Upah minimum adalah upah minimum; berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah, misalnya upah minimum bulanan dan upah minimum per jam.
Baca Juga: Faisal Basri: Pemerintah salah diagnosis soal Omnibus Law
Kedua, menghilangkan pesangon. Menko Perekonomian menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah.
Terkait hal ini, Said Iqbal mengatakan, bahwa di dalam UU No 13 Tahun 2003; sudah diatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh yang ter-PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah.
Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15% dari total pesangon dan/atau penghargaan masa kerja.
"Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih," ujar Presiden KSPI, Said Iqbal.
Ketiga, fleksibilitas pasar kerja atau penggunaan outsourcing dan Buruh Kontrak Diperluas. Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja.
Said menafsirkan, istilah fleksibilitas pasar kerja adalah tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT). Dalam hal ini, outsourcing dibebaskan di semua lini produksi.
"Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa di-outsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan," ucap dia.
Baca Juga: RUU Omnibus Law dinilai hanya untuk kepentingan oligarki
Keempat, lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi tenaga kerja asing (TKA) unskill. Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu.
TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskill workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasional, maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional.
Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya 3 – 5 tahun, dia harus kembali ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal. Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job, dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan si TKA tadi.
Said mengatakan, dalam omnibus law ada wacana, semua persyaratan tadi dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang mestinya bisa ditempati oleh orang lokal diisi oleh TKA.
Baca Juga: Amankan demo buruh di depan gedung DPR, 6.000 personel gabungan disiapkan
Kelima, Jaminan Sosial Terancam Hilang. Menurut Said, hal ini akibat dari adanya sistem kerja yang fleksibel tadi. Sebagaimana dipahami, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.
"Bagaimana mau mendapatkan jaminan pensiun, jika pekerja setiap tahun berpindah pekerjaan dan hanya mendapatkan upah selama beberapa jam saja dalam sehari yang besarnya di bawah upah minimum?," ujar dia.
Baca Juga: Pemerintah ingin membentuk Sovereign Wealth Fund, begini pendapat ekonom
Keenam, Menghilangkan Sanksi Pidana Bagi Pengusaha. Dalam omnibus law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Sebagaimana diketahui, UU 13/2003 memberikan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh.
Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah upah di bawah upah minimum, bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun. Jika sanksi pidana ini dihilangkan, bisa jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum.
“Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak berikan pengusaha. Karena tidak ada efek jera,” ujar Iqbal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News