kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Serikat buruh berencana lakukan aksi mogok kerja


Senin, 06 Desember 2021 / 20:42 WIB
Serikat buruh berencana lakukan aksi mogok kerja
ILUSTRASI. Ratusan buruh berunjuk rasa di kawasan Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten, Senin (5/10/2020). Serikat buruh berencana lakukan aksi mogok kerja.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pihaknya akan melakukan aksi dan mogok kerja mendesak pemerintah menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Sudah disepakati dan diputuskan aksi buruh tiap-tiap provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia akan terus dilakukan mulai tanggal 6 sampai 10 Desember.2021 aksi-aksi buruh di masing-masing provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia akan berlangsung yang melibatkan puluhan ribu buruh,” ujar Iqbal ketika dikonfirmasi, Senin (6/12).

Iqbal mengatakan, aksi unjuk rasa nasional akan dipusatkan di Istana Negara, Gedung Mahkamah Konstitusi, dan Balaikota DKI Jakarta. Hal itu rencananya akan dilakukan pada 8 Desember yang melibatkan sekitar 50.000 hingga 100.000 buruh dari Jabodetabek yang berasal dari 60 federasi serikat pekerja tingkat nasional.

Baca Juga: Massa buruh dari Pulogadung bergerak ke Balai Kota, minta Anies batalkan UMP 2022

Lalu, lanjut Iqbal, aksi unjuk rasa akan dilakukan pada tanggal 9 Desember 2021 serempak di seluruh Indonesia di masing-masing daerah. Kemungkinan besar aksi akan diikuti ratusan ribu bahkan tidak menutup kemungkinan jutaan buruh di daerah masing-masing, provinsi kabupaten/kota.

“Rencana aksi mogok nasional yang melibatkan 2 juta buruh di seluruh Indonesia belum kami putuskan tanggal nya karena atas permintaan kawan – kawan daerah aksi akan difokuskan ke daerah terutama bupati/walikota dan gubernur harus merubah SK tentang kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan UMK,” ujar Iqbal.

Iqbal mengatakan, terdapat tiga tuntutan yang akan disuarakan pada aksi-aksi tersebut. Pertama, mencabut UU Cipta Kerja sesuai keputusan MK yang sudah menyatakan inkonstitusional bersyarat dan cacat formil.

Kedua, mencabut PP 36/2021 tentang pengupahan yang dinilai sudah inkonstitusional dan cacat formil menurut keputusan MK.

Baca Juga: Penetapan Upah Minimum Mengundang Polemik

“Ketiga, cabut SK gubenur tentang UMP DKI dan UMK di seluruh kabupaten/kota di seluruh Indonesia,” ucap Iqbal.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan UU Cipta Kerja yang disahkan tahun lalu itu tetap berlaku secara konstitusional. Hal itu berlaku hingga diterbitkannya aturan perbaikan yang paling lama 2 tahun.

Selain itu, Airlangga memastikan aturan turunan UU Cipta Kerja masih juga tetap berlaku. Pasalnya MK hanya menyatakan agar pemerintah tidak menerbitkan peraturan baru yang bersifat strategis sampai dilakukan perbaikan atas pembentukan UU Cipta Kerja.

Airlangga mengatakan, pemerintah akan berkirim surat ke DPR untuk memasukkan revisi UU Cipta Kerja dan UU tentang Pembentukan Perundang-Undangan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2022.

"Dengan demikian peraturan perundangan yang telah diberlakukan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja tetap berlaku," ungkap Airlangga.

Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) RI Adi Mahfudz mengatakan, kebijakan pengupahan tetap berlaku pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk formula penetapan upah minimum berdasarkan PP nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan tetap berlaku.

Baca Juga: Buruh Tuntut Upah Tinggi, Pemerintah Tetapkan Upah Mini

“Jadi sebetulnya yang dimaksud keputusan MK itu kan tidak boleh buat aturan yang baru, tidak ada klausul pun yang menggugurkan aturan yang sudah ditetapkan,” ujar Adi saat dihubungi, Selasa (30/11).

Adi mengatakan, sesuai putusan MK yakni UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan yakni dua tahun. Sebab itu, penetapan UMP dan UMK juga tetap berdasarkan PP 36/2021 yang merupakan aturan pelaksana UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Adi menerangkan, pemerintah tidak serta merta menetapkan PP 36/2021 begitu saja. Perumusan PP tersebut berdasarkan kesepakatan tripartit yakni pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh termasuk dari akademisi.

Ia mengatakan, adanya PP tersebut memberi kepastian hukum, perlindungan bagi dunia usaha dan perlindungan bagi pekerja/buruh.

“Jangan sampai kita memberikan statement yang tidak berlandaskan hukum, Mari kita jalankan fungsi sesuai dengan kewenangan kita masing-masing yang telah diatur sesuai peraturan dan regulasi yang ada,” ujar Adi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×